Terbaru

Glosarium

Tanya-Jawab

Editorial

Kabar Buruh

Video

Opini & Analisa

Buruh Migran

Kasus

Perempuan

Kabar Rakyat

Perusahaan & Lowongan Kerja

HAM & Demokrasi

Freeport vs Pemerintah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah.

Minggu, 26 Februari 2017 Tidak ada komentar
Drama Freeport vs Pemerintah kali ini ibarat “gajah berkelahi melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”.

Foto: Solidaritas.net (CC-BY-SA-3.0)
Siapa saja kah pelanduk itu? Pelanduk itu tak lain adalah buruh Freeport dan rakyat West Papua.

Buruh Freeport dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana sebagai besar para buruh tersebut adalah orang asli Papua (OAP). Setelah melakukan PHK, baru-baru ini juga Freeport mengeluarkan kebijakan akan merumahkan buruh-buruhnya. PHK tidak hanya terjadi di perusahaan Freeport tetapi di berbagai perusahaan subkontraktor.

Namun, tidak ada kebijakan pemerintah untuk memberikan sanksi kepada Freeport atas PHK sepihak tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap para buruh.

Begitu pula masyarakat adat dan bangsa West Papua pada umumnya, mereka menjadi korban pertarungan ini. Tak pernah sedikit pun Freeport dan Pemerintah Indonesia bertanya kepada mereka. Tentu, sebab itu lah watak imperialis dan kolonial.

Sejarah penipuan dan pembodohan berulang. Dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan New York Agreement (1963), rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal, bangsa West Papua sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Proses Dekolonisasi yang dijanjikan oleh Belanda sedang berjalan. Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan Rakyat Niew Guinea) sudah terbentuk pada 5 April 1961. Apalagi, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), sebagai satu-satunya konferensi yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia yang ditandatangani di Den Haag pada 2 November 1949, wilayah Papua tidak termasuk di dalamnya. Secara administrasi wilayah Papua bukan bagian administrasi Hindia Belanda melainkan administrasi Hollandia. Pusat pemerintahaan Hindia Belanda (Dutch Indies) berada di Jakarta sedangkan administrasi Hollandia berada di tempat yang saat ini bernama Jayapura.

Begitu pula saat pemerintah Indonesia menerbitkan ijin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia. West Papua dalam status wilayah tak berpemerintahan sendiri.

Kali ini, dalam kisruh pemerintah vs Freeport dalam soal bagaimana Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dijalankan, lagi dan lagi rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Buruh Freeport yang lebih dari 1000 orang diantaranya adalah orang asli Papua (OAP) juga tidak dilibatkan. Begitu pula buruh Freeport pada umumnya.

Freeport dan pemerintah sibuk bertarung terkait porsi keuntungan kedua belah pihak. Masing-masing menggunakan kaki tangannya sendiri-sendiri. Freeport menggunakan kaki tangannya guna membela keberadaan Freeport. Sembari mencekik leher para buruh, Freeport seolah mengharapkan pertolongan, “bela Freeport, lawan pemerintah Indonesia” demi lapangan pekerjaan untuk buruh. Sentimen ini digunakan oleh Freeport  untuk menaikan posisi tawarnya yang sedang rendah itu agar bisa tetap leluasa menjalankan roda eksploitasi tambang dan ekspor konsentrat. Freeport berupaya memaksa agar pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan IUPK beserta porsi bagi hasil menurut versi Freeport. Jika tidak, keuntungan yang masuk ke kantong-kantong pemilik saham Freeport semakin berkurang, sebab pemerintah Indonesia meminta lebih daripada sebelumnya.

Apalagi yang bikin Freeport tambah gerah, meski ijin ekspor konsentrat sudah diberikan oleh Kementerian ESDM, tapi pemogokan buruh-buruh smelter Freport di Gresik mengganggu berjalannya ekspor konsentrat.

Pemerintah Indonesia di sisi lain menggunakan isu “nasionalisme” soal kedaulatan negara, dimana Freeport harus tunduk pada kepentingan NKRI. Tapi posisi tawar pemerintah kali ini lebih besar, sebab ditinjau dari APBN setoran Freeport bukan lah paling besar, meski untuk pemasukan dari perusahaan tambang masih paling besar.

Baik Freeport dan pemerintah Indonesia memainkan politik bluffing (politik menggertak). Freeport menggertak akan menutup operasinya dan akan maju ke arbitrase internasional. Pemerintah Indonesia balik gertak “kalau kalah di arbitrase internasional Freeport harus hengkang dari Indonesia”.
Apakah benar gertakan ini akan dijalankan? Akh, sama sekali tidak. Masing-masing pihak sudah memiliki hubungan saling menguntungkan satu sama lain selama 50an tahun ini. Hubungan yang menguntungkan di atas bangkai jutaan anggota dan simpatisan PKI dan kelompok kiri lainnya--yang juga adalah pendukung Soekarno, serta penipuan dan pembunuhan terhadap ratusan ribu bangsa West Papua.

Freeport tak mungkin menutup proyek besarnya di West Papua, sebab potensi tambang masih begitu besar. Lebih dari 6 lubang proyek eksploitasi tambang bawah tanah sedang berjalan. Apalagi nilai perusahaan tambang Freeport di pegunungan Grasberg sudah bernilai puluhan triliun rupiah. Patut dicatat, Freeport Indonesia merupakan cabang Freeport paling besar yang dimiliki Freeport diseluruh dunia.

Freeport akan pergi karena dua hal berikut: pertama, potensi tambang di seluruh Papua sudah habis. Kedua, revolusi mengusir Freeport sebagaimana yang terjadi setelah Revolusi Kuba (1959).

Pemerintah Indonesia juga tak akan mengusir Freeport. Meski sebenarnya kontribusi Freeport ke APBN lebih kecil ketimbang sumbangan devisa oleh buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, namun sudah terlalu banyak “bancakan” kepentingan pada bisnis tambang PT. Freeport ini. Apakah itu bisnis pengamanan yang dimainkan oleh TNI dan Polri, ataukah berbagai saham yang dimiliki oleh elit-elit nasional baik di perusahaan Freeport maupun di perusahaan kontrak lainnya. Apakah elit dari lingkaran keluarga Cendana atau elit dilingkaran Aburizal Bakrie dan lainnya. Menyingkirkan Freeport akan mengakibatkan serangan balik dari elit-elit yang memiliki kepentingan. Tentu, pemerintah Jokowi tak mau ada kegaduhan politik yang mengakibatkan stabilitas kekuasaannya terganggu. Sebab, Jokowi yang pro liberalisasi investasi itu sangat berkepentingan pada stabilitas politik.

Sementara itu ada kelompok-kelompok masyarakat yang mengumandangkan isu Nasionalisasi Freeport. Nasionalisasi untuk siapa? Untuk Indonesia?

Bagaimana bisa menasionalisasi potensi tambang yang bukan milik bangsa Indonesia, tapi milik bangsa West Papua. Itu rampok namanya.

Rakyat dan Bangsa West Papua sudah terlalu lama dirampok. Mengangkat isu “Nasionalisasi Freeport” sama dengan membiarkan perampokan terjadi dengan menggunakan isu kedaulatan rakyat. Padahal jika kembali lagi pada kronik sejarah, West Papua adalah sebuah Bangsa, dan kekayaan alamnya harus kembali ke tangan kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua.

Permasalahan Freeport adalah permasalah politik, dan tidak sekedar permasalahan politik antara Freeport dan NKRI namun lebih jauh lagi adalah permasalahan kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua.

Maka dari itu, meninjau permasalahan kisruh antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, kaum pergerakan, khususnya gerakan buruh, harus kembali pada soal sejarah bangsa West Papua dan bagaimana penipuan serta pembantaian terjadi paska proklamasi kemerdekaan bangsa West Papua 1 Desember 1961 hingga keluarnya kontrak karya Freeport 1967.

Tak mungkin Indonesia menjadi bangsa yang besar dan berdaulat apabila menutup-nutupi dan membiarkan penipuan dan penjajahan terus berlangsung terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
Jalan yang manusiawi terhadap kisruh Freeport, antara lain: pertama, tutup Freeport; kedua, audit kekayaan Freeport dan Freeport wajib membayarkan upah dan pesangon kepada para buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku; ketiga, referendum untuk rakyat dan bangsa West Papua sebagai solusi demokratik; keempat, biarkan Rakyat dan Negara West Papua menentukan masa depan pertambangan di tanah West Papua!

Inilah jalan keluar yang paling manusiawi yang tidak saja membebaskan Bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga membebaskan Bangsa Indonesia karena beban warisan kolonialisme yang masih berlangsung hingg kini. Mengapa manusiawi? Sebab penjajahan adalah bentuk penindasan yang paling terbelakang yang seharusnya sudah dihapuskan dari atas muka bumi.**

Penulis: Surya Anta - Juru Bicara Fri-West Papua sekaligus anggota Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI), tinggal di Jakarta.

Selengkapnya → Freeport vs Pemerintah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah.

Tak Dibayar Buruh Pabrik Karung Protes

Sabtu, 25 Februari 2017 Tidak ada komentar
Semarang-Ratusan buruh Pabrik PT Simoplas melakukan aksi turun ke jalan, Kamis(23/2). Dengan bertelanjang dada mereka melakukan aksi dengan berjalan kaki menuju Kantor Disnakertrans Kota Semarang,

Sumber pixabay.com
Aksi telanjang dada yang dilakukan buruh laki - laki itu sebagai protes mereka tidak bisa membeli baju menyusul upah yang tak dibayar perusahaan selama 10 bulan.

"Hak kami tidak pernah diberikan oleh perusahaan, kami tidak diberikan upah," ujar Koordinator aksi Ahmad Zainudin.

Ahamd mengatakan buruh telah bekerja sesuai  ,namun, sejak bulan Mei 2016 tidak ada pemberitahuan  tentang nasib mereka. Sejak itu mereka tidak pernah diberikan upah.

Selain masalah upah, buruh pabrik penghasil karung ini menuntut pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).

Sebelumnya upaya mediasi sudah dilakukan sebanyak tiga kali, buruh berharap segera memperoleh kesepakatan dengan pihak  pengusaha.






Selengkapnya → Tak Dibayar Buruh Pabrik Karung Protes

Chun Tae-il Pahlawan Buruh Korea

Kamis, 23 Februari 2017 Tidak ada komentar
Solidaritas.net-Tokoh gerakan buruh yang terkenal di Korea selatan adalah Chun Tae-il. Siapakah sebenarnya Chun Tae-il , apa yang dilakukannya sehingga setiap tanggal 1 Mei buruh di Korea selalu mengenangnya ?

Sosok Chun Tae-il
(Sumber: Solidaritystories,wordpress.com)
Chun Tae-il adalah seorang lelaki muda miskin tidak berpendidikan yang bekerja sebagai buruh potong pakaian di sebuah garmen di Pasar Damai, Seoul, Korea Selatan.

Dia dikenal sebagai buruh muda yang mempunyai semangat membangkitkan gerakan rakyat di Korea. Peristiwa yang membuat dunia melihat buruh muda ini adalah saat dia berusaha memperlihatkan penderitaan buruh pabrik yang miskin, sakit, kurang pendidikan, bekerja di atas jam rata-rata di sebuah lorong kecil berdebu yang diperas tanpa rasa malu oleh pengusaha.

13 November 1970, pukul 13.30. 

Chun Tae-il melakukan aksi mogok kerja menuntut kondisi kerja yang lebih baik dan memprotes sikap majikan dan pemerintah yang tidak peduli terhadap kondisi buruh. Aksi tersebut dilengkapi dengan plakat bertuliskan  "Kami bukan mesin, kami bukan budak, beri kami matahari sekali seminggu " .

Saat aksi berlangsung polisi mencoba membubarkan dengan cara kekerasan. Chun Tae-il menyiram tubuhnya dengan bensin dan membakar diri.

Chun Tae-il meninggal dunia. Laki - laki muda kelahiran Taegu, Korea Selatan 26 Agustus 1948 meninggal saat usianya masih 22 tahun.

Kematiannya mengakibatkan kesedihan luar biasa rakyat Korea, bahkan diibaratkan air mata 60 juta rakyat Korea mencucur deras untuk mengiringi kepergian Chun Tae-il.

Beberapa surat kabar menjadikan peristiwa tersebut sebagai berita utama dengan judul" Seorang Buruh Pabrik dan Harapan Terputus-Tukang Potong Pakaian Chun Bunuh Diri”.

Setelah berita kematianya tersebar, iklim politik dan sosial berubah dengan cepat. Ratusan mahasiswa mengadakan rapat memprotes kebijakan pemerintah terhadap perburuhan dengan cara aksi mogok makan.

Perjuangan Tae-il juga membangkitkan kaum buruh muda dan gerakan buruh yang telah lama padam di Korea. Salah satunya gerakan 50 buruh perempuan datang ke Seoul menuntut upah mereka. Sebuah peristiwa yang belum terjadi sebelumnya.

Walaupun akhir tahun 1971 pemerintah kembali merampas senjata utama kaum buruh yaitu memberlakukan sistem tawar menawar,  namun semangat Tae-il tidak akan pernah dilupakan. Kata - kata terakhir pejuang muda dari Pasar Damai tetap menjadi pemicu semangat “Jangan biarkan kematianku menjadi sia-sia”.

Salah satu catatan harian Chun Tae-il yang terkenal adalah "Aku Harus Kembali", catatan ini dia tulis 8 Agustus 1970.

Catatan ini  merupakan keputusan yang dia ambil untuk memerdekan diri seseorang dari penindasan, kesakiran dan  memperjuangkan martabat manusia.

Aku harus kembali

Sudah lama aku merasa bimbang dan pedih,
Kali ini aku mengambil keputusan yang mutlak,
Aku harus kembali, mendampingi saudara-saudaraku yang miskin,
Ketempat jiwaku berlabuh, jiwa-jiwa mudah dipasar damai,
Untuk membuktikan segenap jiwa dan ragaku.
Janji yang aku ucapkan selama berjam-jam dalam perenungan ;
Aku harus melindungi jiwa-jiwa yang rapuh itu.
Aku akan mengorbankan diriku, aku akan mati untuk kalian.
Bersabarlah, tunggu sebentar lagi.
Aku akan mengorbankan diriku, tapi bukan meninggalkan kalian
Kalian adalah rumah bagi jiwaku.

Hari ini hari Sabtu. Sabtu yang kedua bulan agustus.
Hari dimana aku mnegambil keputusan.
Tuhan, kasihanilah aku.
Aku sedang berjuang untuk menjadi embun bagi jiwa-jiwa yang dihina-dinhinakan
Tanpa dosa, yang tak terbilang banyaknya.







Selengkapnya → Chun Tae-il Pahlawan Buruh Korea

Kegiatan Belajar Bersama Buruh Migran di Hongkong

Tidak ada komentar
Hongkong adalah salah satu pilihan buruh migran asal Indonesia untuk bekerja. Selain dikenal lebih aman bagi buruh untuk bekerja, komunitas di negara bekas jajahan Inggris tersebut solid dan mempunyai banyak kegiatan di waktu hari libur atau senggang.

Salah satu aktivitas belajar bersama buruh migran di Hongkong
(Sumber: www.kobumi.blogspot.co.id)
Kegiatan yang mereka adalah kegiatan belajar bersama bahasa Inggris dan komputer. Bersama Komunitas Buruh Migran (KOBUMI) dan organisasi Buddhist orang Indonesia yang berada di Hongkong (Damamita), kegiatan dilakukan rutin dua minggu sekali.

Koordinator acara kegiatan buruh belajar bersama, Umi Sudarto mengatakan selama dua jam mulai jam 14.00 - 16.00 buruh berkumpul di Causewy Bay untuk meningkatkan skill atau  keahlian bahasa Inggris.

"Keahlian berbahasa Inggris perlu terus ditingkatkan oleh buruh migran di sini karena digunakan sebagai bahasa sehari - hari. Selain itu belajar memakai komputer untuk menunjang kebutuhan berorganisasi," tutur Umi.

Mereka juga diajarkan cara mengelola keuangan bagi buruh migran perempuan selama bekerja di luar negeri, mengenal konsep  investasi. Ada juga peajaran tentang cara menghitung untung rugi menyimpan di bank, dana pensiun dan asuransi

Kegiatan tersebut dimulai sejak Oktober 2016 lalu, namun sempat terhenti di bulan Desember dan Januari 2017 karena kesibukan pengajar.

Selain mendapatkan tambahan ilmu secara gratis, kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan bantuan serta membangun solidaritas sesama buruh migran di Hongkong.
Selengkapnya → Kegiatan Belajar Bersama Buruh Migran di Hongkong

Pekerja Inginkan Biaya Pelayanan Usaha Pariwisata Tetap Berlaku

Rabu, 22 Februari 2017 Tidak ada komentar
Jakarta – Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) mendesak pemberlakuan uang servis atau biaya pelayanan di industri pariwisata tetap diberlakukan. Pasalnya, sejak adanya Permen No.7/2016, uang pelayanan hanya boleh diberlakukan di restoran di dalam hotel.

Gambar ilustrasi. Sumber: Pixabay.
“Gara-gara Permen baru ini usaha kami untuk memperjuangkan uang servis di sebuah restoran kandas. Dulu sebelum adanya Permen No.2/1999 ada uang servis, sekarang dihapus karena restoran pizza tersebut sudah berada di luar hotel sedangkan yang boleh memberlakukan uang servis hanya restoran di dalam hotel,” tutur salah seorang pengurus Divisi Pendidikan Nasional FSPM, Iman Sukmanajaya kepada Solidaritas.net, Selasa (22/2/2017).

Akibat peraturan tersebut, usaha pariwisata di luar usaha restoran dan hotel tidak memiliki dasar hukum untuk memberlakukan uang servis. Iman mengungkapkan, uang servis di beberapa hotel bisa dua kali lipat dari UMSP DKI atau UMK di kota lainnya. “Ada hotel di Jakarta setiap pekerja bisa memperoleh uang servis sebesar 4,5 sampai 5 juta per bulan,” ungkapnya.

Sebelum adanya Permen No.7/2016, aturan pemberlakuan uang servis diatur dalam Permen No.2/1999 dan merupakan aturan tambahan/pelengkap dari Surat Keputusan (SK) Menteri Perekonomian No.706/1956. Aturan ini membolehkan menarik tambahan biaya/surcharge dari konsumsi barang/jasa yang dijual oleh Industri akomodasi dan restoran pada umumnya

Surcharge itu yang kemudian dikenal dengan service charge atau biaya pelayanan. Ini menjadi penghasilan tambahan bagi pekerja hotel, apartemen, restoran dan berbagai usahanya pada usaha pariwisata. Permen No.2/1999 sendiri sebenarnya hanya mengatur tata cara pembagian uang servis. Secara normatif, diatur sebagiannya dibagi rata kepada seluruh pekerja, sisanya dibagi berdasarkan senioritas.

Sementara itu, Permen No.7/2016 menyebutkan pembagian uang servis berdasarkan senioritas dan kinerja. Ada perbedaan pandangan dalam mendefenisikan senioritas, bagi pengusaha senioritas adalah soal jabatan. Sedangkan bagi pekerja, senioritas tidak hanya soal jabatan tetapi juga soal masa kerja.

Dicontohkan uang servis itu seperti berikut: harga jus jeruk Rp.100.000, uang servis Rp.10.000 (10 persen), pajak Rp.11.000 (10 persen). Jadi, total yang harus dibayar pelanggan Rp.121.000. Sehingga terkadang ada beberapa orang yang memahami pajak dan uang servis di hotel itu sebesar 21 persen.

“Padahal skema yang sebenarnya seperti yang saya urai di atas,” jelas Iman

Sedikitnya ada FSPM, Serikat Buruh Seluruh Indonesia Makanan Minuman Pariwisata dan Hotel (SBSI Kamiparho), Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) dan Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi (FSP Par Ref) yang telah berkirim surat sejak April 2016, mulai dari meminta audiensi hingga petunjuk pelaksanaan peraturan menteri tersebut, tetapi tidak mendapat respon.
Selengkapnya → Pekerja Inginkan Biaya Pelayanan Usaha Pariwisata Tetap Berlaku

Apa Kabarmu Pahlawan Devisa?

Tidak ada komentar
Solidaritas.net-Buruh Migran atau disebut juga dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terkenal dengan sebutan sebagai pahlawan devisa. Hal ini karena tingginya aliran remitansi atau kiriman uang dari buruh migran kepada seseorang di negara asal buruh

Gambar ilustrasi. Sumber: Pixabay. 
Berdasarkan data di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan jumlah uang kiriman ke Indonesia di tahun 2015 mencapai Rp 119 triliun.

Sumbangsih tersebut diklaim mampu bersaing dengan target laba bersih 118 perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mencapai Rp 150 triliun pada tahun 2015 atau target Rp 172 triliun pada tahun 2016.

Di tahun 2016 hingga bulan Oktober, jumlah pengiriman uang mencapai US$ 7.477.856.214 atau jika dirupiahkan setara Rp 97,5 triliun.

Namun awal tahun 2017 ini telah terjadi dua peristiwa yang melecehkan dan merenggut nyawa buruh migran :

Pertama, masih ingat cuitan yang ditulis Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang ditulis 24 Januari 2017? Di Twitternya Fahri menuliskan kata babu untuk pahlawan devisa ini. Walaupun telah meminta maaf namun cuitan ini telah merendahkan dan melecehkan profesi buruh migran. Ujungnya Fahri Hamzah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran.

Kedua, peritiwa tenggelamnya kapal pengangkut TKI di Tanjung Rhu, Johor, malaysia akhir Januari lalu telah menewaskan 24 orang.

Di samping peristiwa tersebut Migran Care mencatat 19 ribu dari total 7 juta buruh migran terutama yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) migran mengalami kasus kekerasan di rumah majikan. Bahkan jumlah ini naik ini sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya.

Sementara itu Direktur Migrant Care , Anis Hidayat mengatakan sedikitnya 1.147 orang meninggal dunia di Kuala Lumpur, Malaysia sepanjang tahun 2016.

“1.147 Jiwa melayang baru di satu kota bayangkan kalau diakumulasi 179 negara resmi tujuan buruh migran. Ini mengerikan. Menjadi buruh migran seolah-olah meregistrasikan diri untuk bersiap resiko nyawa hilang dan jadi sasaran penyiksaan dan perbudakan,” ungkap Anis.

LSM perlindungan buruh migran ini juga menyatakan untuk meminimalkan korban usulan dari pemerintah untuk melakukan moratorium TKI bukan merupakan solusi. Solusi yang ditawarkan adalah membuat peta jalan untuk membangun mekanisme berimigrasi yang aman bagi siapa saja.

Jika biasanya kita menjunjung dan memberikan hormat kepada pahlawan kita, mungkinkah ada pengecualian terhadap pahlawan devisa kita ?
Selengkapnya → Apa Kabarmu Pahlawan Devisa?

Perjuangan Buruh Perempuan untuk Berserikat

Tidak ada komentar
Bekasi – Buruh perempuan PT Tristar yang aktif di Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB) saat ini sedang menghadapi masalah. Perusahaan tempat mereka bekerja mengaku bangkrut namun hak pekerja tidak dipenuhi.

Buruh Perempuan PT Tristar saat di posko
(foto: Mujiyo) "SS-BY-SA-3.0"

Selama pengawalan kasus, buruh memberlakukan sistem jaga di posko yang ada tepat di depan pabrik.

Untuk menjaga kelancaran berserikat mereka harus mendapatkan dukungan dari suami dan menyelesaikan pekerjaan domestik terlebih dahulu. Dengan mendapatkan dukungan suami mereka mengaku aktivitas berserikat lebih lancar dan bersemangat.

“Bentuk dukungannya, suami saya selalu mengingatkan jadwal jaga posko. Paling dia bilang, ini jam jaga kamu,” tutur Medina, salah satu buruh, Selasa (21/2/2017).

Hal serupa dialami Azwira, Liner, Susrianti, dan Sanah. Bedanya, bentuk dukungan suami Sanah adalah hingga ikut berjaga di posko. “Saya didukung, selain diingatkan jadwal, suami saya malah ikut jaga di sini,” katanya.

Mereka tidak dilarang, namun sebelum melakukan aktivitas serikat, pekerjaan domestik harus mereka selesaikan lebih dulu. Buruh-buruh perempuan itu mengaku lelah tetapi mereka memilih kompromi, artinya mau melakukan pekerjaan tersebut karena suaminya juga bekerja di perusahaan. “Ada lelahnya karena mengerjakan pekerjaan domestik sekaligus serikat, tapi suami saya kan kerja,” tutur Medina.

Ada pula buruh yang membenarkan bahwa itu adalah pekerjaan perempuan dan dianggap sebagai risiko berkeluarga. “Jenuh, ya beginilah resiko berkeluarga,” ujar Liner.

Selain itu ada juga buruh yang merasa lelah namun memahami bahwa memperjuangkan hak bukanlah hal mudah. “Ada lelah dan bosannya tapi beginilah perjuangan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan serikat karena buruhlah yang dapat mengubah nasibnya sendiri,” tutur Susrianti, buruh lainnya.

Mereka mengaku sangat bersemangat saat mendapat dukungan dari suami. Namun, sebelum dukungan itu mereka peroleh, para suami harus dijelaskan dan diyakinkan hingga diajak ke posko agar percaya bahwa mereka sedang memperjuangkan hak-haknya yang dlanggar. “Didukung karena sudah diceritakan masalahnya, diyakinkan juga,” kata Azwira.

Permasalahan buruh Tristar bermula dari adanya pengumuman libur, saat buruh tidak masuk kerja ternyata mesin produksi dan hasil produksi sudah diangkut menggunakan mobil yang entah dibawa kemana. Saat ini masih ada sebagian hasil produksi yang tersisa di dalam pabrik. Perusahaan garmen ini memproduksi baju, jaket, kemeja dan beberapa produk lainnya yang di ekspor ke luar negeri.

Seiring dengan hengkangnya pengusaha, hak-hak buruh tidak dipenuhi. Seperti hak atas upah yang belum dibayar dan kekurangan upah, alasannya perusahaan sedang bangkrut. Selama bekerja, pengusaha kerap mengurangi upah buruh.

Dalam satu hari kerja, upah buruh bervariasi, ada yang Rp.45.000 dan ada pula yang Rp.60.000. Setiap gajian, upahnya dikurangi sampai Rp.75.000, terkadang juga lambat. Waktu gajian tanggal 10, baru diberikan tanggal 20. “Kasusnya sudah sampai PHI, jadi pas perusahaan tutup itu status kami masih pekerja dan belum di PHK,” ungkap Syarifa.
Selengkapnya → Perjuangan Buruh Perempuan untuk Berserikat
Jangan lewatkan