Terbaru

Editorial

Freeport vs Pemerintah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah.

Minggu, 26 Februari 2017

Drama Freeport vs Pemerintah kali ini ibarat “gajah berkelahi melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah”. Siapa saja kah pelanduk itu? Pelanduk itu tak lain adalah buruh Freeport dan rakyat West Papua.
Buruh Freeport dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana sebagai besar para buruh tersebut adalah orang asli Papua (OAP). Setelah melakukan PHK, baru-baru ini juga Freeport mengeluarkan kebijakan akan merumahkan buruh-buruhnya. PHK tidak hanya terjadi di perusahaan Freeport tetapi di berbagai perusahaan subkontraktor.

Foto: Solidaritas.net (CC-BY-SA-3.0)
Namun, tidak ada kebijakan pemerintah untuk memberikan sanksi kepada Freeport atas PHK sepihak tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap para buruh.

Begitu pula masyarakat adat dan bangsa West Papua pada umumnya, mereka menjadi korban pertarungan ini. Tak pernah sedikit pun Freeport dan Pemerintah Indonesia bertanya kepada mereka. Tentu, sebab itu lah watak imperialis dan kolonial.

Sejarah penipuan dan pembodohan berulang. Dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan New York Agreement (1963), rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal, bangsa West Papua sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Proses Dekolonisasi yang dijanjikan oleh Belanda sedang berjalan. Nieuw Guinea Raad (Dewan Perwakilan Rakyat Niew Guinea) sudah terbentuk pada 5 April 1961. Apalagi, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), sebagai satu-satunya konferensi yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia yang ditandatangani di Den Haag pada 2 November 1949, wilayah Papua tidak termasuk di dalamnya. Secara administrasi wilayah Papua bukan bagian administrasi Hindia Belanda melainkan administrasi Hollandia. Pusat pemerintahaan Hindia Belanda (Dutch Indies) berada di Jakarta sedangkan administrasi Hollandia berada di tempat yang saat ini bernama Jayapura.

Begitu pula saat pemerintah Indonesia menerbitkan ijin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia. West Papua dalam status wilayah tak berpemerintahan sendiri.

Kali ini, dalam kisruh pemerintah vs Freeport dalam soal bagaimana Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dijalankan, lagi dan lagi rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Buruh Freeport yang lebih dari 1000 orang diantaranya adalah orang asli Papua (OAP) juga tidak dilibatkan. Begitu pula buruh Freeport pada umumnya.

Freeport dan pemerintah sibuk bertarung terkait porsi keuntungan kedua belah pihak. Masing-masing menggunakan kaki tangannya sendiri-sendiri. Freeport menggunakan kaki tangannya guna membela keberadaan Freeport. Sembari mencekik leher para buruh, Freeport seolah mengharapkan pertolongan, “bela Freeport, lawan pemerintah Indonesia” demi lapangan pekerjaan untuk buruh. Sentimen ini digunakan oleh Freeport  untuk menaikan posisi tawarnya yang sedang rendah itu agar bisa tetap leluasa menjalankan roda eksploitasi tambang dan ekspor konsentrat. Freeport berupaya memaksa agar pemerintah Indonesia harus mengikuti ketentuan IUPK beserta porsi bagi hasil menurut versi Freeport. Jika tidak, keuntungan yang masuk ke kantong-kantong pemilik saham Freeport semakin berkurang, sebab pemerintah Indonesia meminta lebih daripada sebelumnya.

Apalagi yang bikin Freeport tambah gerah, meski ijin ekspor konsentrat sudah diberikan oleh Kementerian ESDM, tapi pemogokan buruh-buruh smelter Freport di Gresik mengganggu berjalannya ekspor konsentrat.

Pemerintah Indonesia di sisi lain menggunakan isu “nasionalisme” soal kedaulatan negara, dimana Freeport harus tunduk pada kepentingan NKRI. Tapi posisi tawar pemerintah kali ini lebih besar, sebab ditinjau dari APBN setoran Freeport bukan lah paling besar, meski untuk pemasukan dari perusahaan tambang masih paling besar.

Baik Freeport dan pemerintah Indonesia memainkan politik bluffing (politik menggertak). Freeport menggertak akan menutup operasinya dan akan maju ke arbitrase internasional. Pemerintah Indonesia balik gertak “kalau kalah di arbitrase internasional Freeport harus hengkang dari Indonesia”.
Apakah benar gertakan ini akan dijalankan? Akh, sama sekali tidak. Masing-masing pihak sudah memiliki hubungan saling menguntungkan satu sama lain selama 50an tahun ini. Hubungan yang menguntungkan di atas bangkai jutaan anggota dan simpatisan PKI dan kelompok kiri lainnya--yang juga adalah pendukung Soekarno, serta penipuan dan pembunuhan terhadap ratusan ribu bangsa West Papua.

Freeport tak mungkin menutup proyek besarnya di West Papua, sebab potensi tambang masih begitu besar. Lebih dari 6 lubang proyek eksploitasi tambang bawah tanah sedang berjalan. Apalagi nilai perusahaan tambang Freeport di pegunungan Grasberg sudah bernilai puluhan triliun rupiah. Patut dicatat, Freeport Indonesia merupakan cabang Freeport paling besar yang dimiliki Freeport diseluruh dunia.

Freeport akan pergi karena dua hal berikut: pertama, potensi tambang di seluruh Papua sudah habis. Kedua, revolusi mengusir Freeport sebagaimana yang terjadi setelah Revolusi Kuba (1959).

Pemerintah Indonesia juga tak akan mengusir Freeport. Meski sebenarnya kontribusi Freeport ke APBN lebih kecil ketimbang sumbangan devisa oleh buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, namun sudah terlalu banyak “bancakan” kepentingan pada bisnis tambang PT. Freeport ini. Apakah itu bisnis pengamanan yang dimainkan oleh TNI dan Polri, ataukah berbagai saham yang dimiliki oleh elit-elit nasional baik di perusahaan Freeport maupun di perusahaan kontrak lainnya. Apakah elit dari lingkaran keluarga Cendana atau elit dilingkaran Aburizal Bakrie dan lainnya. Menyingkirkan Freeport akan mengakibatkan serangan balik dari elit-elit yang memiliki kepentingan. Tentu, pemerintah Jokowi tak mau ada kegaduhan politik yang mengakibatkan stabilitas kekuasaannya terganggu. Sebab, Jokowi yang pro liberalisasi investasi itu sangat berkepentingan pada stabilitas politik.

Sementara itu ada kelompok-kelompok masyarakat yang mengumandangkan isu Nasionalisasi Freeport. Nasionalisasi untuk siapa? Untuk Indonesia?

Bagaimana bisa menasionalisasi potensi tambang yang bukan milik bangsa Indonesia, tapi milik bangsa West Papua. Itu rampok namanya.

Rakyat dan Bangsa West Papua sudah terlalu lama dirampok. Mengangkat isu “Nasionalisasi Freeport” sama dengan membiarkan perampokan terjadi dengan menggunakan isu kedaulatan rakyat. Padahal jika kembali lagi pada kronik sejarah, West Papua adalah sebuah Bangsa, dan kekayaan alamnya harus kembali ke tangan kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua.

Permasalahan Freeport adalah permasalah politik, dan tidak sekedar permasalahan politik antara Freeport dan NKRI namun lebih jauh lagi adalah permasalahan kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua.

Maka dari itu, meninjau permasalahan kisruh antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, kaum pergerakan, khususnya gerakan buruh, harus kembali pada soal sejarah bangsa West Papua dan bagaimana penipuan serta pembantaian terjadi paska proklamasi kemerdekaan bangsa West Papua 1 Desember 1961 hingga keluarnya kontrak karya Freeport 1967.

Tak mungkin Indonesia menjadi bangsa yang besar dan berdaulat apabila menutup-nutupi dan membiarkan penipuan dan penjajahan terus berlangsung terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
Jalan yang manusiawi terhadap kisruh Freeport, antara lain: pertama, tutup Freeport; kedua, audit kekayaan Freeport dan Freeport wajib membayarkan upah dan pesangon kepada para buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku; ketiga, referendum untuk rakyat dan bangsa West Papua sebagai solusi demokratik; keempat, biarkan Rakyat dan Negara West Papua menentukan masa depan pertambangan di tanah West Papua!

Inilah jalan keluar yang paling manusiawi yang tidak saja membebaskan Bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga membebaskan Bangsa Indonesia karena beban warisan kolonialisme yang masih berlangsung hingg kini. Mengapa manusiawi? Sebab penjajahan adalah bentuk penindasan yang paling terbelakang yang seharusnya sudah dihapuskan dari atas muka bumi.**

Penulis: Surya Anta - Juru Bicara Fri-West Papua sekaligus anggota Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI), tinggal di Jakarta.

*Bantu kami terus menyajikan informasi dengan berdonasi, KLIK DI SINI*

Hubungi kami di BBM: 2BCF570E | Whats App/SMS: +6285716619721 | email: redaksi@solidaritas.net. Install aplikasi pembaca berita di Solidaritas.net Apps

IKLAN
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar

Poskan Komentar

Jangan lewatkan