Sunan Kudus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Sunan Kudus
Lahir1500an Masehi
Yerusalem, Kesultanan Utsmaniyah
Meninggal1550an Masehi
Id-siak1.GIF Kudus, Kerajaan Demak
Sebab meninggalMeninggal dalam keadaan bersujud ketika sholat subuh
Tempat tinggalKudus Jawa Tengah
Pekerjaan1. Penasehat Sultan (Sultan Demak)
2. Panglima Perang
3. Qadhi
4. Mufti
5. Imam Besar Masjid Demak & Masjid Kudus
6. Mursyid Tarekat
7. Naqib Nasab Keturunan Azmatkhan
8. Ketua Pasar Islam Walisongo
9. Penanggung Jawab Pencetak Dinar Dirham Islam
10. Ketua Baitulmal Walisongo
Tempat kerjaKerajaan Islam Demak
Dikenal atasAnggota Walisongo yang paling alim (Waliyyul Ilmi)
Gaji7 Dinar Emas (1 Dinar Emas=24Karat,4.44 gram)/hari
Tinggi176 cm (5 ft 9 in) (perkiraan kasar berdasarkan ilustrasi)
Berat70 kg (perkiraan kasar berdasarkan ilustrasi)
GelarWaliyyul Ilmi
Masa jabatan1400M-1550M/ 808H-958H (150 tahun)
PendahuluUsman Haji (Sunan Ngudung) (Ayah)
PenggantiAmir Hasan (Anak Pertama)
Anggota dewanMajelis Dakwah Walisongo
Pasangan serumahSyarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang
Anak1. Amir Hasan
2. Panembahan Kudus
3. Nyai Ageng Pambayun
4. Panembahan Makaos Honggokusumo
6. Panembahan Kadhi
7. Panembahan Karimun
8. Panembahan Jaka
9. Ratu Pajaka
10. Ratu Probodinalar
KerabatSyarifah Dewi Sujinah (adik perempuan/isteri Sunan Muria)

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir sekitar 1500an Masehi. Nama lengkapnya adalah nama Ja'far Shadiq. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.

Ia hidup pada zaman runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung.

Jati diri Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Nama Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad.

Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah dan kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.

Nasab Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Sunan Kudus(Habib Ja'far Shodiq) adalah putra Habib Utsman Haji Sunan Ngudung. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Habib Ja'far Shodiq Sunan Kudus bin Utsman Haji Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadho bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandi bin Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubro bin Ahmad Jalaluddin Syah bin Abdullah Amirkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi Ba 'Alawi bin Muhammad Maula Ash-Shouma'ah bin Alwi Al-Mubtakir bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad.[1]

Sunan Kudus dalam Babad Tanah Jawi[sunting | sunting sumber]

Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941. Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.

“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan Kali Jaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan sengkalan tahun 1428. Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan Kudus. Setelah beberapa Jumat berdirinya masjid tadi, ketika para wali sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusuk bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.” ??? [2]

“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Yang paling disayang adalah Arya Penansang."

Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kudus sangat menyayangi Arya Penangsang walaupun digambarkan memiliki sikap pemarah dan kurang hati-hati. sebenarnya hal ini cukup meragukan karena Sunan Kudus tidak mungkin menyayangi murid yang memiliki perilaku yang buruk. Sedangkan Sunan Kudus dikenal sebagai salahsatu anggota Dewan Wali paling bijaksana hingga dipilih menjadi penghulu dewan Wali Songo saat masih bertugas di Kesultanan Demak

Pendidikan Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Kanjeng Sunan Kudus (selanjutnya disingkat KSK) banyak berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Suatu waktu saat KSK ingin menarik simpati masyarakat untuk mendatangi masjid guna mendengarkan tabligh akbarnya, ia tambatkan Kebo Gumarang (sapinya) di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramah KSK mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik rasa penasaran masyarakat.

Dakwah Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.

Tak heran, jika hingga sekarang makam ia yang berdekatan dengan Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.

Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh ia.

Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.

Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.

Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.

Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak cuma menjadi barang mahal, tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.[3]

Karya Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Wafatnya Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Amaruli, Rabith Jihan dan Dhanang Respati Puguh. 2006. Pembauran Komunitas Tionghoa Muslim di Kudus 1961-1998. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Dipoegoro: Sabda Volume 1 Nomor 1.
  • Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
  • Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
  • Muliadi. “Pola Spasial Objek Wisata Ziarah Wali Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Dikaitkan dengan Persepsi Peziarah”. Tesis Magister Teknik Aritektur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
  • Olthof, W. L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
  • Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
  • Said, Nur. 2009. Pendidikan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV Brillian Media Utama.
  • Steenbrink, Karel A. 1988. Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
  • Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta: Graha Pustaka.
  • Usman, Zuber. 1963. Kesusastraan Lama Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Azmatkhan, Shohibul Faroji (2011). Ensiklopedi Nasab Imam Al-Husain. Penerbit Walisongo Center. hlm. 30. ISBN 9789798451164. 
  2. ^ Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen 1647
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Nur Said