Gambir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Gambir
Uncaria Edit the value on Wikidata
Taksonomi
DivisiTracheophyta
UpadivisiSpermatophytina
Kladangiosperms
Kladmesangiosperms
Kladeudicots
Kladcore eudicots
Kladasterids
Kladlamiids
OrdoGentianales
FamiliRubiaceae
UpafamiliCinchonoideae
TribusNaucleeae
GenusUncaria Edit the value on Wikidata
Schreb., 1789

Gambir (Uncaria) adalah genus tumbuhan yang termasuk suku rubiaceae. Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan untuk menyirih. Kegunaan yang lebih penting adalah sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna. Gambir juga mengandung katekin (catechin), suatu bahan alami yang bersifat antioksidan. India mengimpor 68% gambir dari Indonesia, dan menggunakannya sebagai bahan campuran menyirih.

Gambir dihasilkan pula dari tumbuhan U. acida.

Pemerian tumbuhan[sunting | sunting sumber]

Uncaria gambir berupa tumbuhan perdu setengah merambat/atau memanjat[1] dengan percabangan memanjang dan mendatar; batang menyegi empat --terutama ketika muda-- dan dipersenjatai dengan duri-duri yang melengkung seperti kait. Daun-daun tunggal, berhadapan, agak seperti kulit, oval hingga jorong lebar, (6-)9-12(-15) cm x (3.5-)5-7(-8) cm, pangkalnya membundar atau bentuk jantung, ujungnya meruncing, permukaan tidak berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek. Bunganya tersusun majemuk dalam bongkol dengan diameter (3.5-)4-5 cm; mahkota berwarna merah muda atau hijau; kelopak bunga pendek, mahkota bunga berbentuk corong (seperti bunga kopi), benang sari lima. Buah berupa kapsula dengan dua ruang, panjang 14-18 mm, berbiji banyak, bersayap, dan bertangkai hingga 20 mm.[2][3][1]

Ekologi dan budidaya[sunting | sunting sumber]

Gambir sejak lama telah dibudidayakan di Semenanjung Malaya, Singapura,[4] dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Maluku)[2][4]. Asal usulnya diperkirakan dari Sumatera dan Kalimantan[4], di mana jenis-jenis liarnya didapati tumbuh di alam[2]. Rumphius melaporkan bahwa tumbuhan ini telah ditanam orang di Maluku pada pertengahan abad ke-18[2], namun sumber lain meyakini bahwa perdagangannya di kawasan Malaya telah berlangsung sejak abad ke-17[4]

Gambir liar kerap didapati di hutan sekunder. Ia tidak tumbuh di wilayah yang kering, namun juga tidak tahan dengan penggenangan. Tumbuh baik hingga ketinggian 200 m, gambir bisa hidup hingga elevasi 1.000 m dpl.[2] Gambir ditanam juga di dataran rendah.[1]

Iklim yang cocok untuk budidaya gambir adalah iklim tipe B2 menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Gambir berproduksi dengan baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah kecoklatan. Ketinggian tempat yang sesuai antara 100-500 m dpl dengan curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm pertahun (Anonim, 2000 dalam Noor Roufiq dkk, tt.).[5]

Pada masa lalu gambir dihasilkan dari Sumatera Barat, Riau, Bangka, Belitung dan Kalimantan Barat (Heyne, 1987), namun kini utamanya diproduksi oleh Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu dengan sekitar 90% produksi gambir Indonesia dihasilkan dari Provinsi Sumatera Barat dan Riau (Roswita, 1998). Negara tujuan utama ekspor gambir Indonesia adalah India dan Singapura.[5]

Produk[sunting | sunting sumber]

Gambir dari Pasar Anyar, Bogor

Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir yang diendapkan dan kemudian dicetak dan dikeringkan, yang berfungsi sebagai astringen.[1] Hampir 95% produksi dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala. Bentuk cetakan biasanya silinder, menyerupai gula merah. Warnanya coklat kehitaman atau kekuningan. Gambir (dalam perdagangan antarnegara dikenal sebagai gambier) biasanya dikirim dalam kemasan 50kg. Bentuk lainnya adalah bubuk atau "biskuit". Nama lainnya adalah catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu).

Kegunaan[sunting | sunting sumber]

Kegunaan utama adalah sebagai komponen menyirih, yang sudah dikenal masyarakat kepulauan Nusantara, dari Sumatera hingga Papua sejak paling tidak 2.500 tahun yang lalu. Diketahui, gambir merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses pencernaan di perut dan usus. Fungsi lain adalah sebagai campuran obat, seperti sebagai luka bakar, obat sakit kepala, obat diare, obat disentri,[1] obat kumur-kumur, obat sariawan, serta obat sakit kulit (dibalurkan). Gambir digunakan pula sebagai bahan penyamak kulit dan bahan pewarna tekstil[2]. Sifat astringen] gambir ditemukan pula pada kayu Acacia catechu (Leguminosae), yang bisa ditemukan di India dan Semenanjung Malaya.[1]

Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel[6]. Produk ini masih harus bersaing dengan sumber perekat kayu lain, seperti kulit kayu Acacia mearnsii, kayu Schinopsis balansa, serta kulit polong Caesalpinia spinosa yang dihasilkan negara lain.

Kandungan[sunting | sunting sumber]

Kandungan yang utama dan juga dikandung oleh banyak anggota Uncaria lainnya adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid (seperti gambirtannin) dan turunan dihidro- dan okso-nya.[7]

Sediaan gambir termuat dalam Ekstra Farmakope Indonesia 1974 sebagai Catechu EFI (Gambir EFI), dengan kandungan isi d-katekin 7-33% dan asam katekutanat (sejenis tanin) 22-50%. Pemakaian utamanya sebagai astringensia.[8] Gambir juga mengandung katekin (catechin, cyanidol-3) digunakan sebagai anti-histamin yang bisa digunakan dengan anti-alergi. Bisa digunakan sebagai hepatitis dan luka pada hati, yang bisa digunakan sebagai obat di sana.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g Dharma, A.P. (1987). Indonesian Medicinal Plants. hal.79 – 80. Jakarta:Balai Pustaka. ISBN 979-407-032-7.
  2. ^ a b c d e f ICRAF AgroForestryTree Database: Uncaria gambir
  3. ^ Brown, O.P. 1878. The Complete Herbalist, section Gambir Plant (Uncaria Gambir)
  4. ^ a b c d Singapore Infopedia: Gambier.
  5. ^ a b Noor Roufiq, dkk. tt. Status Teknologi Budidaya dan Pengolahan Gambir. Balittro, Bogor.
  6. ^ Kompas.com: Papan Tiruan Temuan Unand Layak Dipakai. Berita Jumat, 7 Maret 2008 | 07:26 WIB
  7. ^ Hiller, K. & MF. Melzig. 2007. Die große Enzyklopaedie der Arzneipflanzen und Drogen. Elsevier, Heidelberg.
  8. ^ Sutrisno, R.B. 1974. Ihtisar Farmakognosi: 224. Jakarta: Pharmascience Pacific.

Bacaan lanjut[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]