RPP Pengupahan Ditujukan Lindungi Kepentingan Pengusaha

0
demo thr
Foto ilustrasi (kredit bisnis.liputan6.com)

Solidaritas.net – Draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan saat ini telah beredar di kalangan serikat buruh, berita terakhir, draft ini merupakan hasil akhir harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Ada banyak ketentuan yang perlu mendapat perhatian serius dari kaum buruh dalam RPP Pengupahan ini.

Sebut saja pasal 24 ayat (4) huruf c yang mengatur tentang kegiatan serikat buruh di waktu kerja tetap mendapatkan upah sepanjang mendapatkan persetujuan pengusaha. Padahal dalam UU no. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada pasal 29, pengusaha wajib untuk memberi kesempatan buruh melakukan kegiatan serikat buruh di waktu kerja dengan tetap mendapatkan upah. Sehingga keberadaan RPP ini justru melemahkan posisi serikat buruh, sebab pengusaha diperbolehkan melarang kegiatan serikat buruh di waktu kerja.

Demikian pula ketentuan dalam pasal 44 ayat (4) RPP Pengupahan yang mengatur tentang peninjauan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu 5 tahun sekali. Selanjutnya ketentuan pasal 46 ayat (1) RPP Pengupahan yang mengatur bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Sehingga menurut RPP ini, Gubernur dapat saja tidak bersedia menetapkan  upah minimum kabupaten/kota.

Namun yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah ketentuan dalam BAB VII, pasal 59 hingga pasal 68 RPP Pengupahan. Bab tersebut mengatur sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan dalam RPP Pengupahan. Dimana terhadap pelanggaran-pelanggaran ketentuan pengupahan, hanya akan diberikan sanksi administratif bagi pengusaha.

Dalam penjelasan mengenai sanksi administratif, diatur 2 tingkatan sanksi bagi pengusaha, yaitu teguran tertulis dan tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu. Pelayanan publik tertentu sebagaimana dimaksud hanyalah berupa pelayanan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu:

a. ijin mempekerjakan tenaga kerja asing;
b. ijin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c. ijin lembaga penempatan tenaga kerja swasta;
d. ijin pelatihan kerja; dan/atau
e. ijin yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Sanksi administratif tersebut diterapkan bagi pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut:

a. pengusaha yang tidak membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR)
b. pengusaha tidak membagikan uang servis
c. pengusaha tidak menyusun struktur dan skala upah
d. pengusaha tidak membayarkan upah tepat pada waktunya
e. pengusaha tidak membayar denda atas pelanggaran sebagaimana telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
f. pengusaha melakukan pemotongan upah lebih dari 50% dari upah yang diterima buruh.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama ini aturan ketenagakerjaan, yang diatur dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, banyak dilanggar oleh pengusaha, salah satu penyebabnya adalah akibat tidak adanya sanksi. Bahkan terhadap aturan yang telah memiliki sanksi tegas pidana, misalnya pelanggaran pembayaran upah minimum diancam pidana 1 hingga 4 tahun penjara, masih sangat sulit ditegakkan.

Kini kaum buruh kembali disuguhkan aturan ketenagakerjaan yang buruk dan nyaris tidak memiliki sanksi yang berarti. Namun kehadiran aturan ini sekaligus membuka mata kaum buruh bahwa pemerintah pada dasarnya hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan modal. Sehingga untuk mencapai cita-cita kesejahteraan, kaum buruh tidak dapat menggantungkan harapannya pada elit-elit maupun partai-partai politik yang ada saat ini.

Kaum buruh harus membangun kekuatan politiknya sendiri, dengan terus mengorganisir diri, membangun persatuan, kesadaran dan perlawanan untuk selanjutnya merebut kekuasaan politik.  Hak harus direbut karena ia tidak dapat ditunggu. Kesejahteraan harus diperjuangkan bersama sebab ia tidak jatuh dari langit dengan tiba-tiba.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *