Kelemahan Struktur dan Skala Upah

0
Foto Ilustrasi. (Sumber: Pixabay.com)

Dalam Permenaker No. 1/2017, Struktur dan Skala Upah didefinisikan sebagai susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan.

Dalam penyusunan skala upah, pengusaha wajib memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, yang didefinisikan sebagai berikut:

  • Golongan adalah banyaknya golongan jabatan;
  • Jabatan adalah sekelompok tugas dan pekerjaan dalam organisasi perusahaan;
  • Masa kerja adalah lamanya pengalaman melaksanakan pekerjaan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tahun yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan;
  • Pendidikan adalah tingkat pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan formal sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan;
  • Kompetensi adalah kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dipersyaratkan dalam suatu jabatan.

Dari pengertian dan  jenis-jenis komponen struktur dan skala upah, ada beberapa kelemahan yang bisa kita nilai dari sisi para pekerja, khususnya pekerja manufaktur atau pekerja kerah biru di sektor jasa.

Kelemahan

Pertama,  penyusunan struktur dan skala upah diserahkan kepada pengusaha sebagai tersirat dalam Pasal 2 ayat (1) Permenaker No. 1/2017. Tetapi, dinyatakan pula dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa upah yang dimaksud adalah upah pokok yang besarannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Dalam praktiknya, biasanya, setelah upah minimum ditetapkan oleh pemerintah, pekerja/buruh di perusahaan akan memperjuangkan kenaikan upah dengan mengacu pada klausul kesepakatan ini. Di sinilah terjadi tarik-menarik, pengusaha seringkali langsung saja membuat struktur skala upah secara sepihak dengan menetapkan sendiri upah pokok tanpa kesepakatan dengan pihak buruh atau serikat pekerja sebagai representasi buruh.

Masalah kedua, dalam lima komponen ini, terlalu mengistimewakan jabatan dan golongan. Seorang pekerja tidak saja dilihat dari segi jabatan, tetapi juga dari golongannya. Misalnya, di sebuah perusahaan memiliki jabatan leader, maka jabatan ini memiliki golongan-golongan lagi yang ditentukan oleh perusahaan. Jumlah mereka pada umumnya jauh lebih sedikit daripada buruh-buruh kebanyakan yang bekerja sebagai operator produksi. Fungsi mereka biasanya berada pada fungsi pengawasan terhadap kerja para bawahan. Pekerjaan buruh operator biasa seringkali lebih berat secara fisik, tetapi tidak memiliki tunjangan khusus, sedangkan pekerjaan pengawasan yang kadang-kadang ditambah dengan sedikit pekerjaan administrasi, terlalu diistimewakan.

Meskipun terdapat komponen pendidikan yang perlu diperhatikan, namun bagi buruh manufaktur yang kebanyakan berpendidikan paling tinggi sekolah menengah atas atau yang setara, tidak diberikan tambahan upah berdasarkan pendidikan atau jika ada, jauh lebih kecil daripada pekerja yang berpendidikan strata 1 yang kebanyakan menjalankan fungsi-fungsi manajemen. Bisa saja pekerja menjadi lebih termotivasi untuk melanjutkan jenjang pendidikan, misalnya, tetapi sistem kerja yang kebanyakan diciptakan untuk memfasilitasi lebih banyak lembur, membuat pekerja sulit memiliki waktu luang untuk melanjutkan pendidikan.

Masa kerja menjadi suatu peluang untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi bagi buruh-buruh “senior” mengingat lamanya pengabdian mereka di perusahaan. Namun, di bawah kondisi pasar tenaga kerja fleksibel, terlebih lagi dengan disahkannya Omnibus Law (UU Cipta Kerja), kemungkinan buruh berstatus sebagai pekerja atau karyawan tetap semakin kecil. Sebagai gantinya, buruh dengan status kontrak sementara, outsourcing, bahkan peserta magang, akan semakin marak digunakan.

Peluang terakhir meningkatkan upah bagi pekerja strata terbawah adalah dengan kompetensi yang tidak hanya melihat pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga sikap kerja, misalnya kerajinan. Sejumlah perusahaan menggunakan absensi kehadiran tahun lalu sebagai dasar perhitungan upah berdasarkan kompetensi. Skala disusun dari A (tertinggi) sampai dengan C atau D (terendah), lalu pekerja yang mampu mencapai kehadiran dengan nilai A (95-100% misalnya) mendapatkan tambahan upah tertentu sebagai ganjaran atas kerajinan mereka.

Cara ini lebih mampu meningkatkan kerajinan bekerja karena para pekerja berpikir bahwa dengan lebih rajin, maka upah tahun depan akan lebih tinggi. Namun, hanya perusahaan yang mungkin mengutamakan cara-cara persuasif yang menerapkan ini dan pekerja menyambut baik karena hanya ini cara yang paling realistis bagi mereka untuk meningkatkan upahnya. Kebanyakan lebih memilih bagaimana memaksa buruh bekerja lebih rajin dengan target tinggi di bawah ancaman surat peringatan apabila gagal mencapai target atau mangkir dari kerja.

Contoh perusahaan yang menggunakan kebijakan pro jabatan dan golongan adalah upah PT. Alpen Food Industry, produsen es krim Aice. Dalam perundingan dengan pekerja, pengusaha Aice ini memberikan upah setiap golongan jabatan sebesar Rp30.000 x jumlah golongan, masa kerja dihargai Rp5.000 per tahun, pendidikan hanya bagi pekerja Sarjana Strata 1 dan untuk kompetensi tidak diberikan. Akhirnya, pekerja yang kebanyakan adalah operator produksi, yang bekerja selama 3 tahun, hanya mendapatkan tambahan Rp45.000 (ditambahkan ke UMK). Seorang leader memiliki selisih upah hingga Rp1,4 juta lebih tinggi, bahkan mereka diberikan tunjangan komunikasi dan bonus apabila mampu menaikkan target dengan memaksa pekerja di bawahnya untuk bekerja dengan lebih berat di bawah mesin-mesin yang kecepatannya dinaikkan.

Baca juga: Kronik Perjuangan #BOIKOTAICE Buruh PT. Alpen Food Industry

(3 Februari 2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *