Penulis Perempuan, dan Isu Pilpres 2019

Jumlah penulis di Mojok untuk rubrik esai memang jomplang antara laki-laki dan perempuan. Saya tidak menghitung secara pasti, tapi kira-kira ada di angka 75:25.

Uniknya, dari sedikit penulis Mojok perempuan itu biasanya tulisan yang bisa tembus akan lebih ramah kepada pembaca. Keterbacaannya cukup tinggi–meski bukan yang paling tinggi. Saya tak tahu penjelasan secara teorinya, yang jelas memang begitu faktanya.

Selain mengenai penulis perempuan, pembahasan mengenai politik memang jadi salah satu tema paling ramai dikunjungi di mojok–selain topik agama. Malah kadang-kadang, meski politik merupakan bahasan musiman, kecepatan dan jarak isu dengan tema yang ditulis tidak begitu berpengaruh banyak.

Misalnya, ketika ada tulisan soal Sandiaga Uno mengenai isu 500 miliar, tulisan yang dimuat berjarak beberapa hari dari isu itu pertama kali berembus pun tidak masalah secara keterbacaan. Sama seperti tulisan reaksi protes dari terpilihnya Kiai Ma’ruf Amin jadi cawapres yang penuh polemik, pun tetap ramai meski sudah beberapa hari isunya terlewati.

Oleh karena hal itu, untuk satu minggu ke depan, esai Mojok sementara hanya akan menerima penulis perempuan. Saya tahu, hal ini akan terkesan bias gender karena dengan memberi kesempatan lebih kepada perempuan saya bisa saja malah dituduh berlaku tidak sportif terhadap perempuan.

Hanya saja saya pikir esai Mojok memang sedang butuh penulis perempuan yang banyak (dan tentu saja berkualitas) untuk mengimbangi banyaknya perspektif laki-laki dalam melihat fenomena atau kasus di sekitar belakangan ini. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, tidak hanya asal penulis perempuan yang dibutuhkan, esai Mojok juga menginginkan perspektif perempuan yang kuat juga.

Saya pikir ada cukup banyak topik yang “hanya” bisa ditulis perempuan dan itu jadi kekuatan besar. Seperti pengalaman melahirkan misalnya, mau ditulis oleh laki-laki dengan perspektif perempuan sekalipun, saya pikir hanya perempuan yang dianugerahi untuk bisa menceritakan apa yang sebenarnya dirasakan. Kekuatan-kekuatan dengan topik endemik itulah yang dibutuhkan esai Mojok untuk seminggu ke depan.

Selain itu, esai Mojok juga akan membatasi (sementara) mengenai isu-isu Pemilihan Presiden 2019, isu mengenai pertarungan cebong vs kampret, sampai isu politik lainnya, baik di ranah regional maupun nasional. Sebab saya pikir sudah terlalu banyak pemberitaan maupun tawaran opini soal itu di media lain, jadi biar Mojok memilih topik-topik lain selama seminggu ke depan.

Jadi dengan ini saya mengundang semua perempuan di muka bumi untuk mengirimkan tulisannya ke Mojok dengan tema yang ada di luar pusaran topik Pilpres 2019.

Selamat pagi dan selamat berlibur~

Sikap Mojok untuk Tahun Politik

Salam 4 Jari untuk Agus Mulyadi

Menghadapi tahun politik, media seperti Mojok harus mempersiapkan diri dengan baik. Terlalu banyak godaan, terlalu banyak angin, yang jika tidak disikapi, dipersiapkan, dan diatur, bisa bikin situasi tidak baik.


Pada Pilgub DKI lalu, saya membuat ‘keputusan politik’ agar Mojok tidak memuat, mencampuri, apalagi mengintervensi isu panas itu. Mojok keluar dari isu tersebut. Ada banyak pertimbangan kenapa itu harus dilakukan. Prima yang saat itu menakhodai awak redaksi bisa mengawal dengan baik. Kalau ada bocor dikit, belok dikit, masih dalam kewajaran. Kelak keputusan ini bukan hanya kami rasa tepat, tapi juga baik. Mengingat benturan di masyarakat begitu kuat dan cenderung destruktif. Lepas dari Pilgub, kami makin banyak diapresiasi oleh berbagai pihak.

Tapi di tahun politik ini, saya perlu pulang kampung dulu untuk membuat keputusan apakah Mojok akan aktif memberitakan dan memuat konten soal Pilpres-Pileg 2019. Keputusan itu harus cepat saya ambil, karena batas pendaftaran terakhir Capres-Cawapres pada 10 Agustus nanti. Semua stakeholders media ini menunggu keputusan saya.

Hal pertama yang mesti saya jernihkan di kepala adalah apakah saya akan tahan atas ‘godaan’? Kalau saya tahan, semua kru akan tahan. Kru akan mengikuti perilaku Kepala Suku. Pertanyaan kedua, ada pada batas apa dan bagaimana? Setelah 5 hari di kampung, makan masakan Ibu, saya memutuskan Mojok akan mengambil isu panas ini dengan penuh rasa tanggungjawab.

Akhirnya, saya mandatkan ‘Salam 4 Jari’ kepada Agus Mulyadi selalu pemred. Jari telunjuk: keadilan dalam bersikap. Jari tengah: tetap menjaga sikap kritis. Jari manis: menjaga spirit mengikat, menyambung, membangun. Bukan sebaliknya. Jari kelingking: semua konten dieksekusi dan dihadirkan dengan menonjolkan gaya khas Mojok.

Jika pembaca Mojok melihat kami sudah mulai melanggar 4 prinsip di atas, kabari saya. Insyaallah segera kami perbaiki.

Selamat melintas di tahun politik.

Puthut EA, Kepala Suku Mojok

Lowongan Redaktur Mojok.Co

Nggak segampang Bana yang begitu masuk langsung jadi pemred. Juga nggak segampang Eddward S Kennedy yang cukup nunggu satu periode untuk geser ke posisi itu. Untuk jadi pemred, yang dimulai sejak dua hari lalu, saya harus melalui masa:

  1. Mojok tidak butuh pemred,
  2. Mojok tutup,
  3. Mojok buka lagi,
  4. Mojok buka tapi Bana balik lagi dan langsung jadi pemred babak dua,
  5. Arman Dhani magang di Mojok dan begitu datang langsung jadi plt. pemred, dan
  6. Agus Mulyadi menolak jadi pemred dan menyatakan akan fokus mengikuti pileg lewat bendera bulat sabit-padi-kuning-hitam.

Continue reading “Lowongan Redaktur Mojok.Co”