Jalan Panjang Menuju Kemandirian Pekerja

Refleksi dari May Day 2016 di Makassar

851302662_61599

Hingar-bingar May Day 2016 telah berlalu. Perayaan tersebut kembali lewat seperti biasa. Sama halnya selebrasi Hari Pendidikan Nasional, sehari setelahnya, dan peringatan matinya Marsinah yang dibunuh 8 Mei 23 tahun silam. Seperti itulah setiap momen peringatan. Meriah, bergelora, kemudian berlalu untuk dirayakan kembali tahun depannya. Momen-momen itu hanya menyisakan residu berupa foto-foto dan bermacam hastag di media sosial.

Tentu saja ada banyak pembelajaran yang bisa dipetik dari tiap momen tersebut. Catatan ini adalah upaya mendokumentasikan May Day sebagai analisa, refleksi dan oto-kritik bagi perjuangan pekerja, agar setiap aksi-aksi kolektif punya hal yang bisa dipelajari, dan tidak berakhir hanya menjadi santapan media atau pun polisi yang mendapat jatah keamanan tambahan.

* * *

Hari Minggu itu, tepat 1 Mei 2016, di Makassar, ratusan pekerja dari arah Kawasan Industri Makassar (KIMA) bergerak menuju Monumen Mandala. Di depan Monumen Mandala, para pekerja anggota berbagai organisasi dan serikat, yang bergabung dalam Solidaritas Aksi Makassar Untuk Rakyat Indonesia (SAMURAI) menguasai dan hampir menutup seluruh ruas Jalan Jenderal Sudirman. Masing-masing perwakilan organisasi bergantian berpidato di atas mobil yang dijadikan mimbar bergerak atau oleh aktivis jalanan biasa disebut mobil komando. Setelah puas, massa bergerak menuju titik berikutnya, jembatan layang atau fly over di Kilometer 4.

Dalam perjalanan menuju fly over, tepatnya di Jalan Bulusaraung, ada kejadian menarik. Beberapa pekerja secara spontan mendatangi toko-toko yang masih buka di sepanjang jalan tersebut. Para pekerja memaksa pemilik toko untuk tutup dan meliburkan pekerjanya. “Hari ini May Day, kita libur kerja!”, paksa seorang pekerja. Aksi ini sontak membuat para pemilik toko ketakutan dan terpaksa memenuhi keinginan pekerja.

Barisan polisi bermotor yang berjaga-jaga di jalan tersebut meresponnya dengan mendatangi para pekerja dan menghalau serta mengancam para pekerja untuk kembali ke barisan. Beberapa petinggi serikat juga seturut dengan polisi, menghardik dan berusaha ‘mendisiplinkan’ pekerja.

Beberapa menit kemudian, barisan telah sampai di fly over, titik akhir yang direncanakan. Para pekerja kembali merapatkan diri dan menggelarpanggung pidato di atas mobil. Para petinggi organisasi-organisasi buruh dan mahasiswa berganti-gantian berpidato. Kami menyebar diri untuk mendistribusikan selebaran seruan kepada seluruh orang.

Sembari mendengarkan orasi dari para perwakilan pekerja, kami kembali membagi selebaran seruan. Menyasar seluruh massa pekerja aliansi SAMURAI, maupun aliansi lain yang turut melakukan aksi di titik ini. Dalam beberapa kali kesempatan, terdengar beberapa orator berteriak “hidup buruh!” sebagai salam pembuka orasi. Ini adalah panggung suara para pekerja, satu-persatu mereka bergantian berpidato dan bernyanyi.

* * *

Bisa ditebak, aksi May Day kali ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ratusan pekerja, mahasiswa, aktivis LSM, berkonvoi dan berarak menuju titik aksi, melewati rute jalan-jalan besar sembari meneriakkan tuntutan-tuntutan, menjejali jalanan dengan spanduk dan poster yang kadang juga berfungsi sebagai pelindung kepala dari terik mentari,membagi-bagikan selebaran yang isinya hanya mampu dicerna oleh dosen dan Tuhan, dan dibagisecara serampangan, orasi bergantian di atas mobil komando, orasi yang berisi ucapan-ucapan yang tak jelas arah dan sasarannya, penuh jargon dan bahasa yang rumit, alih-alih menyemangati massa aksi, ini malah terdengar seperti seringai karena perangkat pengeras suara yang buruk.Rally ini pada akhirnya diselesaikan dengan instruksi “bubar masing-masing”. Di barisan lain, terdengar kabar bahwa beberapa serikat diajak makan malam oleh pemerintah.

Begitulah May Day direduksi menjadi sekedar gerak jalan santai untuk kemudian keesokan harinya kembali dalam siklus penindasan kapitalis. Dengan elitisme gerakan pekerja, apa yang berkembang di kalangan pekerja itu sendiri praktis menguap seiring dengan lobi-lobi.

Apa yang dilupakan dari sejarah Mayday, adalah militansi perjuangan kaum pekerja. Peristiwa Haymarket tahun 1886 yang lampau menunjukkan bahwa pencapaian perjuangan menuntut 8 jam kerja sehari, tidak melalui jalur lobi dan negoisasi atau menitipkan harapan kepada elit-elit politik, elit-elit serikat buruh dan tokoh-tokoh populis. Pencapaian panjang yang diraih dengan aksi-aksi langsung.

Ingatan Mayday adalah juga ingatan akan tragedi penembakan ribuan pekerja di lapangan Haymarket yang melakukan aksi damai menuntut pengurangan jam kerja, serta pemvonisan hukum gantung 8 pekerja yang ikut berjuang pada saat itu. Ini menunjukkan bahwa perangkat kekerasan Negara yaitu Polisi selalu berdiri berlawanan dengan kepentingan kelas pekerja. Mereka bertindak menjadi pengaman modal, bekerja loyal untuk menjaga agar pekerja tidak mempertanyakan ketidaklayakan di tempat kerjanya.

Dengan ingatan ini, maka begitu menyedihkan melihat beberapa serikat pekerja dikelabui dengan ajakan jalan santai oleh kapitalis bahkan ajakan makan malam yang dihadiri juga para petinggi kepolisian.

* * *

Peserta yang terlibat dalam aksi May Day tiap tahun juga masih itu-itu saja. Didominasi oleh pekerja pabrik dan mahasiswa atau orang-orang LSM. Hanya sedikit organisasi yang memobilisasi kaum pekerja informal, pekerja kreatif,kaum perempuan, pengangguran, kaum difabel dan warga miskin lainnya. Kesenjangan dalam memahami dan menjangkau pekerja secara luas menjadikan May Day seolah hanya milik pekerja pabrik. Nyatanya di era sekarang, eksploitasi tidak hanya terjadi di balik tembok pabrik, melainkan hampir seluruh ranah kehidupan. Mereka yang bekerja dengan menjual tenaga kerjanya demi upah, adalah kaum pekerja. Namun fungsi pekerja dalam kapitalisme bukan sekedar dalam konteks yang menerima upah secara langsung, melainkan juga mereka yang tidak diupah. Kaum penganggur, kaum perempuan, dan kelompok-kelompok sosial lainnya, punya fungsinya masing-masing.

Inilah mengapa untuk menumbangkan kapitalisme, perjuangan harus terbangun secara massif di semua kelompok-kelompok sosial dalam kelas pekerja. Dan oleh pekerja itu sendiri. Para jurnalis, guru, penjaga toko, pegawai kantoran, koki, pembantu rumah tangga, satpam, dosen, pengangguran dan sebagainya  mestilah ikut andil dalam perjuangan ini.

Namun ini tidak mungkin terbangun dalam gerakan yang elitis dan eksklusif. Elitisme gerakan pekerja pada dasarnya dibentuk oleh watak dan karakter para aktifisnya. Praktek-praktek sentralistik dan elitis dicerminkan dari bagaimana mengorganisir dan membangun konsep tentang gerakan kolektif. Misalnya dalam peringatan May Day, di mana keterlibatan para pekerjadalam konsolidasi dan persiapannya cukup minim.

Dalam merancang dan menyepakati metode aksi, para elit serikatlah yang lebih banyak terlibat. Bagi kami di Perhimpunan Merdeka, hal ini bukanlah sekedar masalah teknis (delegasi, perwakilan organisasi, dll), namun jauh lebih prinsipil. Ini adalah sebuah masalah yang ada dalam tubuh gerakan pekerja, bahwa masih saja ada model pengambilan keputusan yang elitis. Pekerja tidak ikut (atau diikutkan) dalam perumusan dan pembahasan, tidak ada proses “di bawah” mengumpulkan dan mendengarkan seperti apa keinginan pekerja untuk kemudian dijadikan patokan. Semua disandarkan pada elit serikat dan organisasi. Dengan begitu, ada banyak keinginan dan suara pekerja yang tidak terakomodir, dan hanya menjadi “massa” belaka.

Tidak hanya itu, terhadap ide-ide yang berbeda, para aktivis “demokratik” selalu menerapkan standar ganda. Seringkali delegasi kami mendapati perlakuan yang tidak demokratis di tiap pertemuan dan rapat-rapat. Ada kesan untuk membatasi ruang gerak karena alergi dengan pandangan-pandangan kami. Ketika kami mengusulkan untuk melakukan rally terbuka, agar aksi ini bisa dilihat dan mengajak pekerja lain yang tidak terorganisasi, beberapa elit serikat bereaksi dengan asumsi-asumsi dangkal bahwa hal tersebut dapat memicu konflik (?). Mereka lebih memilih aksi dipusatkan di satu titik saja. Saat kami menyampaikan akan menyebarkan selebaran pada saat May Day ke massa pekerja, kontan mereka bereaksi dengan keras dan berusaha membatasi rencana kami. Beberapa kejadian dalam aksi May Day lalu akhirnya mengkonfirmasi secara jelas sudut pandang ini.

Ada satu contoh menarik perihal watak dan karakter otoritarian dalam aksi kali ini. Yakni ketika beberapa pekerja secara spontan memaksa toko-toko sepanjang rute aksi untuk tutup dan meliburkan pekerjanya, dan beberapa orang malahan justru menghalau dengan keras aksi tersebut. Dalam pandangan elitis, aksi seperti itu hanya dilihat sebagai bentuk ketidakdisiplinan dan huru-hara yang berpotensi “mencederai” aksi. Para aktivis gagal melihat hal ini sebagai bentuk aksi-langsung dan ekspresi solidaritas organik sesama pekerja.

Memaksa menutup toko, bisa disamakan dengan “grebek pabrik”. Meskipun skalanya jauh berbeda, namun aksi tersebut bertujuan mengganggu proses produksi secara langsung. Aksi-aksi seperti inilah yang mesti dikembangkan oleh para pekerja, sebagai apa yang disebut swa-aktifitas, aksi-aksi yang diorganisir pekerja dari bawah dan dilakukan secara independen. Bila para pekerja terlatih dengan karakter seperti itu, logikanya akan merebak dan skalanya diperluas. Sehingga ke depan kita bisa melihat bukan lagi sekedar toko-toko milik orang kaya yang dipaksa tutup, melainkan pusat bisnis, pusat perdagangan dan niaga yang dipaksa tutupoleh pekerja.

Ekspresi seperti inilah yang seharusnya diapresiasi. Ekspresi yang terluapkan hanya saat May Day ini adalah sebuah ilustrasi yang tepat menggambarkan posisi kelasnya para pekerja. Para pekerja yang mengagitasi sesama pekerja untuk ikut libur dan berkonvoi, para pekerja yang berteriak tepat di muka pemilik toko memaksa untuk meliburkan pekerja, inilah ekspresi dari kaum pekerja yang sebenar-benarnya.

Namun elit-elit serikat dan mayoritas aktifis gagal memahami hal ini. Lagi pula, bila melihat secara taktis, spontanitas dari pekerja yang indisipliner itu tersebut menunjukkan pembahasan serta keputusan dalam rapat-rapat komite aksi tidak diketahui secara merata oleh seluruh anggota serikat.

* * *

Memang aksi-aksi seperti ini kurang menggairahkan.Tetapi mengambil jarak dengan massa pekerja juga bukanlah tindakan yang strategis. Tidak bisa dipungkiri ada lebih banyak kaum pekerja yang terlibat di dalamnya, dan beberapa aktivis yang terbuka pemikirannya. Dan karenanya, kami memilih untuk terlibat secara legal dan terbuka.Kami ingin menjangkau mereka dengan gagasan-gagasan yang Perhimpunan Merdeka usung (swa-organisasi pekerja yang otonom, non-birokratik, dan radikal). Saat ini, kami BELUM punya sumberdaya yang cukup untuk menjangkau para pekerja di pabrik-pabrik secara langsung ke permukiman/pondok buruh, meskipun aktifitas kami sudah mengarah ke sana, namun jangkauan tetap terbatas. Perhimpunan Merdeka lebih memilih untuk menyebarkan gagasan ini secara terbuka karena yakin bahwa gagasan-gagasan radikal hanya bisa termanifestasikan bila semakin banyak pekerja dan rakyat miskin bersentuhan dengannya. Kami percaya bahwa kaum pekerja memiliki kapasitas dan kemampuan untuk membangun apa yang disebut sebagai swa-aktifitas.

Perhimpunan Merdeka percaya bahwa bila kita mengisolasi diri, dengan membatasi jangkauan dan interaksi, dan terus alergi dengan kemungkinan-kemungkinan, maka tidak akan memberikan dampak yang berarti. Elit-elit serikat yang tendensius dan beberapa aktivis yang alergi dengan pandangan-pandangan kami tetap berusaha untuk membatasi gerak anggota-anggota kami. Bahkan meskipun melalui forum-forum yang mereka namakan ‘demokratis’.

Tapi dengan begitu, kami lebih punya banyak catatan, lebih punya banyak referensi untuk mengeksposnya kepada para pekerja-pekerja lain, dan anak-anak muda yang menolak dijadikan ternak oleh pemimpin-pemimpinnya.

Keterlibatan Perhimpunan Merdeka dalam aksi, salah satunya juga adalah upaya menyerukan kembali semangat dari kemandirian pekerja yang menyejarah. Perlunya membangun wadah revolusioner yang demokratis, tidak lagi bersifat atas ke bawah (top down), melainkan wadah yang bersifat mendatar (horizontal). Dengan wadah yang mendatar dan demokratis, gerakan pekerja lebih mandiri dan otonom. Wadah ini akan memangkas pola-pola elitisme yang mendikte dan pengambilan keputusan secara terpusat dalam tubuh gerakan pekerja.

Kami percaya bahwa kaum pekerja memiliki kapasitas dan kemampuan untuk membangun kemandiriannya. Hanya dengan terus melatih diri, mengorganisir diri dan kekuatan pekerja, peluang untuk mencapai kemenangan kelas pekerja semakin terbuka.

Perjuangan menuju kemandirian pekerja masih meniti jalan yang panjang.

Salam merdeka!

 

Tawakkal & Indah Astuti

(Anggota Perhimpunan Merdeka)

Leave a comment