Serba Tak Pasti: Keamanan Digital Wartawan di Indonesia dan Filipina

by EM News December 18, 2017

Menurut Committee to Protect Journalists (CIJ), sebuah organisasi global yang mengadvokasi kebebasan pers, Filipina dinilai sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi nyawa wartawan. Beberapa bulan lalu saja, seorang wartawan di Mindanao meregang nyawa setelah peluru menembus kepalanya. Di Indonesia, menjadi wartawan juga sama mencekamnya. Kasus demi kasus penyerangan terlaporkan dan menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah lembaga swadaya masyarakat, kasus kekerasan terhadap wartawan tengah meningkat. Sudah jelas, wartawan-wartawan di kedua negara ini dalam bahaya oleh karenanya mereka harus berupaya memproteksi diri mereka lebih baik lagi.

EngageMedia, sebagai bagian dari Cyber Steward Networks, melakukan serangkaian penelitian mengenai kondisi keamanan digital bagi wartawan di Indonesia dan Filipina. Dalam empat puluh wawancara, para wartawan mendiskusikan tingkat kesadaran mereka mengenai isu keamanan digital dan, jika ada, langkah-langkah dalam menanganinya.

Kami sebelumnya telah mempublikasikan hasil dari wawancara-wawancara kami di situs EngageMedia dalam dua unggahan blog: satu fokus pada kasus di Indonesia dan satu lagi di Filipina. Pembaca juga bisa menyaksikan video pendek yang kami buat untuk menjelaskan konteks Indonesia. Riset di dua negara ini memberikan peluang bagi studi komparasi. Di tulisan ini, kami akan menguraikan dan menganalisis beberapa isu terpenting mengenai keamanan digital yang tengah mencuat. Kami berharap tulisan ini memberikan wawasan lebih mengenai bagaimana wartawan mempersepsi dan mempraktikan keamanan digital.

Penyimpanan Data Online

Di era ini, wartawan umumnya menggunakan telepon genggam dan alat perekam digital untuk merekam wawancara. Semua foto, klip video, dan data audio menuntut tersedianya ruang penyimpanan data yang besar. Belum lagi data-data itu harus dijaga keamanannya, terutama dari pihak luar yang bisa punya niat jahat. Jika data-data kita simpan dengan melampirkannya dalam email, hal itu juga rawan karena email kita mudah diretas. Jika kita memilih ruang penyimpanan data cloud yang kini popular seperti Dropbox, Google Drive, atau Onedrive, data kita cenderung lebih aman. Data kita terenkripsi dan kita bisa membuat kata kunci yang berbeda bagi tiap aplikasi.

Meski demikian, tak ada satu pun dari alat penyimpanan data di atas yang menjamin keamanan data kita. Pemerintah dan industri hiburan (yang memproduksi komoditas yang ber-hak cipta) memberikan tekanan pada provider cloud untuk bisa mengakses sistem cloud untuk mencari apapun yang dianggap “illegal.” Edward Snowden bahkan menyatakan bahwa “Dropbox itu memusuhi privasi” dan ia juga menganjurkan kita untuk “menjauhi Google” dan pindah ke jasa penyimpanan data cloud lain seperti Spideroak yang mengenkripsi semua data dan menggaransi bahwa pihak Spideroak tak akan mampu mengakses data pelanggan mereka. Akhirnya, wartawan harus memahami aturan negara masing-masing mengenai jasa penyimpan data cloud.

Kami mendapati kenyataan yang mengejutkan bahwa wartawan di Indonesia sebagian besar tidak memahami masalah keamanan online (online safety) terutama berkenaan dengan keamanan jasa penyimpanan data. Dari sekian banyak wartawan yang kami wawancarai, hanya satu yang berupaya memproteksi data yang ia kumpulkan. Sebagian besar wartawan bekerja menggunakan laptop pribadi atau telepon pintar dan mereka menggunakan memori internal di laptop atau telepon pintar mereka untuk menyimpan data. Beberapa wartawan menyimpan informasi dengan memasukannya ke dalam arsip aplikasi percakapan seperti Whatsapp atau Line. Seorang wartawan mengatakan bahwa kantornya sering meminta wartawannya untuk menyimpan data atau mem-back up data di komputer kantor.

Ternyata, perusahaan media tempat para wartawan yang kami wawancarai bekerja tidak memiliki standar atau sistem baku mengenai penyimpanan data dan arsip. Lebih jauh lagi, wartawan yang menyimpan data di kantor umumnya tidak paham apakah data yang ia simpan di sana akan aman, dan apa yang terjadi jika data-data itu tidak tersimpan aman di sana. Di sebuah kantor media, kata kunci sebuah komputer bahkan dibagikan ke sesama karyawan di sana, hal ini berarti data bisa diakses, digunakan dan dihilangkan oleh banyak pihak. Berbagai wartawan mengonfirmasi bahwa membagi kata kunci adalah hal yang lumrah di kantor mereka.

Sementara itu, wartawan-wartawan senior di Filipina tidak membiasakan diri menyimpan informasi dalam perangkat elektronik mereka untuk menghindari peretas dan penyalahgunaan informasi. Ada beberapa wartawan yang kami wawancarai yang mengerti cara mengenkripsi data, namun mereka tidak secara konsisten mengenkripsi seluruh file mereka. Umumnya, wartawan di Filipina menganggap upaya mengamankan data dan mendalami sistem penyimpanan data online sebagai hal yang menantang. Butuh waktu banyak dan dukungan peralatan yang memadai dan biasanya mereka tak memiliki itu.

Enkripsi Data

Satu dari beberapa cara terbaik untuk mengamankan data adalah dengan enkripsi. Di Indonesia kita tidak banyak menemukan wartawan yang secara aktif mengenkripsi data, meski pengetahuan dasar mengenai enkripsi mudah didapat. Keengganan mengenkripsi biasanya dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai apa itu enkripsi dan bagaimana ia bekerja. Realita di mana wartawan-wartawan di Indonesia mempraktikan data enkripsi sehari-hari sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Terlebih, tak satupun dari perusahaan media tempat wartawan yang kami wawancarai bekerja mempromosikan penggunaan enkripsi data.

Di Filipina, kami menemukan beberapa wartawan yang menggunakan alat enkripsi data. Namun, mereka tidak menggunakannya dengan konsisten dan praktik enkripsi tidak terintegrasi dengan budaya kerja sehari-hari. Setidaknya, wartawan di Filipina memiliki kesadaran lebih untuk melindungi data mereka dengan tidak menyimpan data yang sensitif secara digital.

Pengawasan Digital

Wartawan-wartawan di Indonesia dan Filipina umumnya tidak menyadari cakupan dari pengawasan digital (digital surveillance). Pengawasan biasanya dipersepsi sebagai pengawasan fisik, seperti dibuntuti oleh aparat pemerintah atau aparat sebuah perusahaan. Sebuah contoh dari kasus pengawasan digital terjadi di kawasan terpencil di Indonesia timur. Karena takut diancam dan diintimidasi seorang wartawan di sana mematikan telpon genggam ketika harus mendatangi kawasan tertentu, ia menghidupkan kembali telpon genggamnya setelah kembali ke daerah yang ia rasa aman. Dengan demikian, wartawan itu yakin bahwa pemerintah dan aparat militer tahu posisi keberadaanya. Wartawan lain yang bertugas di Jakarta mengatakan bahwa ia berhenti menggunakan akun sosial media agar aman dari intimidasi atau ancaman dari politisi dan atau pendukung sang politisi. Di Filipina, beberapa wartawan lebih memilih bertemu secara tatap muka dengan narasumber yang memiliki informasi sensitif dan menghindari penggunaan alat rekam karena mereka tahu ada resiko penyadapan.

Dari kasus di Indonesia dan Filipina, menjadi jelas bahwa wartawan di kedua negara ini sebagian besar masih tidak paham bagaimana internet bekerja, sehingga mereka tidak paham bagaimana pengawasan digital bekerja dan dampak dari internet yang mereka gunakan bagi keamanan digital mereka. Meskipun wartawan sadar bahwa pemerintah melakukan pengawasan, mereka tidak memahami level kecanggihan metode pengawasan yang sekarang bisa dilakukan negara.

Komunikasi antara Wartawan dan Narasumber

Kepraktisan adalah kualitas paling penting yang dicari oleh wartawan di Indonesia dalam berkomunikasi dengan narasumber mereka. Wartawan harus bisa menghubungi narasumber mereka dengan mudah dan cepat. Oleh karenanya mereka menggunakan platform yang sudah dikenal dan mudah untuk digunakan (seperti Whatsapp, Facebook, Twitter, Line) untuk berkomunikasi. Hampir semua wartawan merekam wawancara-wawancara mereka dalam telpon genggam yang juga merupakan telpon pribadi mereka. Meskipun mereka sadar ada resiko yang mengancam, kepraktisan penggunaan telpon genggam mereka nilai lebih penting. Semua wartawan yang kami wawancarai mengatakan bahwa mereka mau mengganti perangkat mereka dengan yang lebih aman, asalkan praktis digunakan. Akhir-akhir ini, perusahaan media di Indonesia justru mendorong wartawan mereka untuk aktif menggunakan sosial media dan saluran komunikasi yang tidak aman lainnya, jadi hanya sedikit motivasi bagi para wartawan di Indonesia untuk beralih ke platform yang lebih aman.

Di Filipina, para wartawan lebih peka terhadap praktik komunikasi yang aman, namun tidak berarti mereka menggunakan saluran komunikasi yang terenkripsi. Keluhan yang sering terdengar adalah bahwa mereka tidak bisa memaksa narasumber mereka untuk berkomunikasi dengan cara yang mereka kehendaki. Justru biasanya sang narasumber yang berinisiatif untuk mengubah protokol atau cara berkomunikasi ke yang lebih aman. Dan jika narasumbernya tidak berinisiatif untuk mengubah cara berkomunikasi ke yang lebih aman, sang wartawan biasanya tidak proaktif mengusulkan cara yang lebih aman.

Secara keseluruhan, kami mengobservasi bahwa kepraktisan sangatlah penting. Jika sebuah sarana atau platform tidak secara masif digunakan dan tidak praktis, wartawan tidak akan tertarik menggunakannya, meskipun sarana itu lebih aman.

Komunikasi antar Wartawan dan dengan Perusahaan Media

Di samping menerima informasi langsung (seperti tatap muka atau panggilan telpon) dari kantor mereka (agensi media/perusahaan media), wartawan di Indonesia juga menerima dalam jumlah besar informasi dari grup-grup Whatsapp. Grup-grup Whatsapp ini memiliki jumlah yang sangat banyak, sebagian besar adalah wartawan, dan grup ini menjadi ruang berdiskusi mengenai apa saja. Di Indonesia, banyak wartawan mengatakan bahwa mereka banyak belajar dari grup-grup ini. Kebanyakan percakapan penting antar wartawan terjadi di media sosial dan grup-grup Whatsap.

Beberapa perusahaan media di Indonesia menggunakan Whatsapp untuk berkoordinasi dengan reporter mereka di lapangan. Lagi-lagi hal ini dikarenakan saluran ini adalah yang paling praktis dan cepat untuk berkomunikasi. Penggunaan email semakin terasa usang. Email semakin dianggap tidak bisa diandalkan di dalam era live chat dan streaming. Para wartawan di Indonesia mengeluh bahwa email seringkali tidak dibalas atau mereka menunggu balasan terlalu lama.

Ada perdebatan yang tengah berlangsung mengenai keamanan penggunaan Whatsapp. Konsensus umum menyatakan bahwa sejak Facebook, sebagai pemilik Whatsapp, memperkenalkan end-to-end encryption pada Whatsapp di tahun 2016, aplikasi ini semakin aman. Untuk pemahanan sederhana mengenai perbedaan antara enkripsi dan enkripsi end-to-end dan juga sebagai saran praktis mengenai bagaimana agar percakapan online kita aman, silakan baca artikel mengenai NetAlert. Seperti wartawan yang kami wawancarai, pengembang alat komunikasi online harus menyeimbangkan antara kegunaan dan keamanan. Untungnya perubahan tengah terus digenjot. Setidaknya, para wartawan terus up-to-date terhadap syarat dan kebijakan privasi (terms and privacy policies) dalam aplikasi komunikasi online yang mereka gunakan.

Sementara itu di Filipina, kebanyakan wartawan yang kami wawancarai menggunakan Facebook untuk berkomunikasi. Ada cukup banyak perusahaan media yang menggunakan Grup-grup Facebook sebagai sarana penugasan reportase. Kebanyakan dari wartawan di sana menggunakan satu akun Facebook untuk urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bagi mereka, Facebook mempermudah dan mempercepat urusan mereka.

Wartawan Paruh Waktu versus Wartawan Tetap

Beberapa agensi berita di Filipina menentukan standar bagi wartawannya dalam penggunaan sosial media. Meski demikian, sulit ditemukan standar dalam urusan keamanan digital. Berbagi perangkat digital masih sangat umum dilakukan di tempat kerja mereka dan tidak banyak yang mereka lakukan untuk mengamankan data mereka. Selama acara forum publik yang kami gelar di Manila, ada rekomendasi bahwa agensi-agensi media semestinya mulai fokus pada keamanan digital. Menurut seorang peserta forum, agensi media saat ini tidak memiliki mekanisme akuntabilitas. Oleh karenanya, agensi-agensi besar seharusnya mulai menerapkan standar keamanan kerja terhadap wartawan-wartawannya dan menjadi yang terdepan dalam penerapan kebijakan keamanan digital.

Keadaan di Indonesia tidak berbeda, agensi-agensi media tidak memiliki kebijakan keamanan digital bahkan aturan minimal mengenai keamanan digital juga tak mampu mereka tegakkan. Para wartawan saling berbagi kata kunci komputer, sebuah perangkat digital digunakan baik untuk keperluan professional maupun personal. Kami bahkan mendengar lebih dari sekali bahwa transkrip wawancara dan dokumentasi milik narasumber disimpan di aplikasi percakapan Whatsapp. Para wartawan yang kami wawancarai tidak menganggap hal-hal itu sebagai masalah.

Di Filipina, wartawan paruh waktu tidak memiliki standar keamanan digital sama sekali. Keamanan dinilai atas dasar pengetahuan dan pengalaman pribadi belaka tanpa standar yang jelas. Di Indonesia, wartawan paruh waktu tidak kami wawancarai.

Pelatihan

Di Filipina, semua wartawan menyatakan bahwa mereka ingin memperketat keamanan digital mereka. Hasil wawancara memperlihatkan bahwa para wartawan punya keinginan untuk mengikuti pelatihan keamanan digital. Baru-baru ini pihak yang menawarkan pelatihan biasanya adalah kelompok-kelompok pembela hak-hak digital (digital rights) secara umum yang tidak menekankan isu-isu keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk wartawan.

Pelatihan keamanan digital harus sampai menyentuh ranah praktik dan mulai fokus pada realita pekerjaan wartawan. Contohnya, dalam situasi di mana seorang wartawan baru menyelesaikan sebuah wawancara dan merekamnya dalam telpon pintar, apa yang harus ia lakukan terlebih dulu sebelum ia mengakses internet lagi dengan telpon yang sama? Atau, bagaimana data ini harus ditransfer dengan aman ke kantor? Seorang jurnalis senior yang kami wawancara bahkan menyarankan bahwa perusahaan media yang lebih besar dan juga universitas harus menetapkan standar dan menawarkan pelatihan keamanan dan keselamatan digital kepada wartawan-wartawan dan mahasiswa jurnalistik.

Di Indonesia, tak satupun wartawan ditawari pelatihan keamanan digital selama mereka bekerja. Mereka langsung dikirim ke lapangan tanpa dibekali pengetahuan keamanan digital telebih dulu. Para wartawan mempelajari keamanan digital biasanya dari teman-temannya, mereka berbagi pengalaman dan tips. Yang mengejutkan, hanya sebagian kecil saja dari mereka memiliki ketertarikan untuk mempelajari lebih lanjut keamanan digital. Wartawan di Indonesia umumnya merasa keadaan aman-aman saja. Terlebih, para wartawan di Indonesia umumnya tidak tahu bahwa pelatihan keamanan digital itu sebetulnya ada. Situasi di Indonesia sungguh kontras dengan tingginya keinginan untuk mempelajari keamanan digital dalam diri para wartawan yang kami wawancarai di Filipina.

Di kedua negara, kami tidak mendapati wartawan yang aktif mempelajari keamanan digital. Kebanyakan wartawan bahkan terkejut bahwa internet menyediakan pengetahuan yang amat banyak tentang keamanan digital.

Edukasi

Di Filipina, sekitar 50 persen wartawan tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang jurnalistik. Mereka rata-rata masuk ke ranah jurnalistik melalui keaktifan mereka di kampus sebagai wartawan majalah atau koran kampus. Di Filipina, keamanan digital bukan bagian dari kurikulum pendidikan jurnalistik. Hanya program pasca sarjana di University of the Philippines yang menawarkan kelas mengenai media dan teknologi, kelas ini mendiskusikan keamanan digital meski tidak terlalu terstruktur.

Di Indonesia, 90 persen wartawan mengecap pendidikan jurnalistik atau berkuliah di program studi jurnalistik. Meski demikian, materi perkuliahan mengenai keamanan digital absen dari kurikulum jurusan jurnalistik di Indonesia. Kami melakukan penelusuran mengenai kurikulum program studi jurnalisme di Indonesia dan hingga hari ini tidak ada satupun kampus jurnalistik yang memberikan perhatian kepada keamanan digital. Seorang wartawan mengatakan bahwa peningkatan keterampilan jurnalistik bisa didapat dengan mengikuti workshop atau dengan bergabung dengan pers mahasiswa di masing-masing kampus.

Oleh karenanya, untuk menjadi seorang wartawan seseorang tidak mutlak memerlukan ijazah jurnalistik. Melainkan lebih ditentukan oleh pola pikir dan gairah untuk menulis berita. Materi pengetahuan dan keterampilan mengenai keamanan digital oleh karenanya lebih cocok diberikan kepada wartawan yang sudah aktif di lapangan.

Kesimpulan

Kami bisa menyimpulkan bahwa baik di Indonesia maupun di Filipina, kesadaran wartawan terhadap keamanan digital itu rendah. Situasi ini tercermin dari praktik bekerja mereka yang tidak aman. Di Filipina, kesadaran wartawan tentang keamanan digital lebih baik dibandingkan dengan wartawan di Indonesia.

Wartawan itu rentan mendapatkan ancaman dan intimidasi di dunia maya, meski demikian mereka tidak dapat banyak dukungan dari perusahaan media tempat mereka bekerja untuk mengantisipasi ancaman dan intimidasi itu. Kesempatan untuk mempelajari keamanan digital tersedia dan sangat mudah didapat di internet, namun para wartawan tidak banyak yang mengetahuinya, atau enggan mengaksesnya. Karena materi keamanan digital di internet kebanyakan berbahasa Inggris, kendala bahasa juga bisa menjadi sebuah faktor penghambat.

Wartawan ada dalam kondisi sulit untuk membuat perubahan. Agensi-agensi media tidak punya kebijakan keamanan digital dan tidak memiliki tanggung jawab untuk mulai mendorong praktik pengamanan data digital dalam organisasi mereka. Pilihan untuk menggunakan sarana komunikasi dan sarana penyimpanan data digital umumnya dipicu oleh tawaran dari narasumber dan jejaring komunikasi yang ada.

Sarana komunikasi yang popular tidak serta merta memiilki protokol keamanan yang memadai. Sejak Whatsapp memperkenalkan enkripsi end-to-end, aplikasi percakapan ini memang menjadi lebih aman. Ini merupakan hal penting karena Whatsapp sangat popular digunakan oleh wartawan, terutama di Indonesia, sebagai alat rekam wawancarai dan untuk menjalin komunikasi dengan narasumber atau dengan kolega.