World Socialist Web Site
 

WSWS : Bahasa Indonesia

Tugas-tugas politik kaum pekerja

Pemilihan Umum di Indonesia dan perjuangan untuk demokrasi

Oleh Dewan Redaktur
21 Mei 1999

Satu tahun setelah penggulingan diktatur militer Suharto, pemilihan umum nasional Indonesia akan diadakan tanggal 7 Juni. Usaha-usaha keras sedang dilaksanakan oleh pemerintah dan partai-partai oposisi, pejabat-pejabat negara dan media massa untuk menciptakan sebuah ilusi bahwa pemilu ini merupakan sebuah langkah menuju demokrasi. Kampanye itu sendiri saat ini sedang menghimpun momentum dengan poster-poster jalanan, spanduk-spanduk dan bendera-bendera partai, rapat-rapat, perdebatan dan pidato-pidato umum. Tetapi, untuk semua yang telah beserta dalam perjuangan untuk hak-hak demokratis selama 12 bulan yang lalu, itu adalah sangat penting untuk mempelajari secara kritis hal-hal politik yang mendasari situasi ini dan bahaya-bahaya yang sangat nyata yang menghadapi kaum pekerja.

Penurunan Suharto secara paksa merupakan pukulan politik yang besar terhadap kaum penguasa, baik di Indonesia maupun di dunia, yang selama tiga dekade terakhir ini menggunakan kekuasaan Suharto untuk mengamankan kepentingan-kepentingan strategis dan ekonomis mereka di dalam negara yang memiliki jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia dan di Asia Tenggara. Ia merupakan penunjang utama dari diktatur “Orde Baru” dan aparatus penindasannya yang ekstensif yang dilahirkan dalam kudeta yang diatur oleh CIA di tahun 1965-66. Setelah penggulingannya, pemilu ini sedang digunakan untuk mengesahkan rejim yang didukung oleh ABRI itu, dan untuk melindungi struktur negara yang telah tergoyah dengan keras untuk menghadapi perjuangan-perjuangan kelas yang akan datang.

Pemilu ini telah digambarkan secara meluas di media massa sebagai pemilu demokratis yang pertama di Indonesia sejak tahun 1955. Tetapi, ciri anti-demokratisnya tampak secara jelas dalam fakta bahwa garis-garis pedoman untuk pemilu ini dan komposisi parlemen yang akan dibentuk setelah itu diciptakan oleh MPR dan DPR -dua badan yang penuh dengan orang-orang pilihan Suharto, jendral-jendral ABRI, politisi-politisi Golkar, usahawan-usahawan dan pejabat-pejabat pemerintah. Hanya setahun lalu, MPR yang sama telah memutuskan secara bulat untuk melantik Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun sekali lagi.

Tidak ada hal fundamental yang telah berubah dengan amandemen-amandemen MPR dan DPR untuk hukum-hukum politis Indonesia. ABRI akan menunjuk 38 anggota dalam DPR baru yang beranggotakan 500 orang, dan bersama dengan 200 anggota dari tingkat provinsi dan daerah akan membentuk sepertiga dari MPR, yang akan memilih presiden dan wakil presiden di bulan November. Di bawah UUD 1945, MPR dan DPR mempunyai kekuasaan terbatas. Presiden yang tidak dipilih dalam pemilu, sebaliknya, mempunyai kekuasaan yang luas untuk mengangkat dan memecat kabinet dan menteri-menteri, dan untuk melangkahi parlemen dengan mengeluarkan keputusan presiden.

Undang-undang pemilu yang baru dalam praktek hanya memperbolehkan partai-partai yang mempunyai dukungan dari usahawan-usahawan besar atau ABRI untuk dapat ikut serta dalam pemilu. Untuk dapat mendaftarkan diri secara resmi, sebuah partai harus mempunyai cabang di paling sedikitnya sepertiga dari 27 provinsi Indonesia dan separuh dari daerah-daerah dan kota-kota dalam provinsi-provinsi itu. Bahkan yang dapat memenuhi syarat-syarat itu masih harus diperiksa oleh pejabat-pejabat pemerintah—hanya 48 dari 141 partai menerima ijin untuk mengambil bagian dalam pemilu ini. Partai Komunis Indonesia (PKI) masih dilarang dan meskipun PRD (Partai Rakyat Demokrasi) yang beraliran kiri itu telah diakui, beberapa pemimpinnya masih dipenjara.

ABRI tetap masih mempunyai “dwi-fungsi” di dalam mana para anggotanya yang telah ditunjuk, terlibat secara langsung dalam semua tingkat pemerintahan, mulai dari nasional sampai ke tingkat provinsial dan lokal. Jendral-jendral ABRI, yang telah terlibat dalam penindasan dan pertumpahan darah selama beberapa dekade, tetap mempunyai pengaruh yang besar dalam kabinet Habibie yang sekarang, memegang posisi-posisi penting seperti pertahanan dan keamanan, kementerian dalam negeri dan kementerian penerangan. Tambahan pula, ABRI telah menggunakan ledakan pemberontakan-pemberontakan berdasarkan ras dan agama di Ambon, Kalimantan Barat, Jawa dan di tempat-tempat lainnya untuk melebarkan struktur kepemimpinannya, memperkuat kekuasaannya dan merekrut 40,000 anggota-anggota sipil bersenjata untuk menambah kekuatannya yang sudah cukup besar.

Sebuah krisis revolusioner yang mendalam

Pemilu ini berlangsung dalam pergolakan politis dan ekonomi yang paling serius di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Didorong oleh keruntuhan ekonomi di Asia, Indonesia telah memasuki tahap-tahap pertama sebuah krisis revolusioner yang mendalam. Semua kontradiksi-kontradiksi kapitalisme Indonesia yang tak pernah dipecahkan telah meluap ke permukaan kehidupan politik: pengebawahan ekonominya kepada modal keuangan internasional (international finance capital); pembesaran belahan antara kaum elit kecilnya yang kaya dan rakyat yang miskin; mendesaknya keperluan para petani miskin untuk tanah dan bantuan keuangan; dan timbulnya konflik regional, ras dan agama yang sengit.

Suharto sendiri merupakan korban besar pertama dari keruntuhan ekonomi yang meledak di bulan Juli 1997 di Thailand dan menyebar secara cepat ke apa yang dipanggil harimau-harimau Asia di daerah itu. Dalam waktu enam bulan, Rupiah Indonesia kehilangan 80 persen nilainya dan harga-harga saham menurun secara drastis, menggoyahkan seluruh ekonomi—pada dasarnya setiap bank dan perusahaan besar menjadi, secara teknis, bangkrut. Tingkat bunga menanjak dan kredit mengering. Pemerintah terpaksa memberhentikan sementara pembayaran hutang luar-negeri yang sebagian besar dibayar dalam Dollar AS yang menjadi semakin mahal.

Penentangan terhadap Suharto datang dari dua sisi yang berlawanan. International Monetary Fund (IMF), Amerika dan negara-negara besar lainnya menggunakan krisis ini sebagai kesempatan untuk mengajukan rencana-rencana yang telah lama mereka buat untuk merubah struktur ekonomi-ekonomi bukan saja Indonesia, tetapi Korea Selatan, Thailand dan negara-negara lain di daerah ini. Struktur ekonomi dan keuangan mereka yang terkendali secara ketat telah menjadi halangan untuk kepentingan-kepentingan modal yang bergerak secara global.

Di Indonesia, modal keuangan internasional tidak dapat menolerasi jaringan besar kerajaan-kerajaan bisnis yang saling bersangkutan yang dimiliki oleh Suharto, keluarganya dan antek-antek bisnisnya, atau monopoli-monopoli milik negara, tarif-tarif, subsidi-subsidi dan perlakuan-perlakuan istimewa yang menghalangi aliran profit dan penanaman modal bebas. IMF, dengan dukungan AS, bersikeras bahwa sebagai balasan dari bantuan yang berjumlah AS$43 milyar itu, Suharto menandatangani memorandum 80 pokok yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang menempatkan pada hakekatnya setiap aspek ekonomi di bawah kontrol dan pengawasannya, dan meletakkan jadwal yang mendetil untuk penghapusan pembatasan-pembatasan ekonomi.

Dengan berlanjutnya penolakan Suharto terhadap rencana-rencana ini, AS mulai bergerak untuk menggantinya. Menurut sebuah laporan yang dimuat di New York Times, diskusi-diskusi tingkat tinggi di Gedung Putih tentang Indonesia mulai terjadi setiap hari, melibatkan ahli-ahli keuangan, pejabat-pejabat senior departemen dalam negeri, analis-analis CIA, pejabat-pejabat besar Pentagon dan pejabat-pejabat keamanan nasional. AS mendukung secara terbuka para tokoh oposisi: Duta Besar Amerika secara terbuka menghadiri rapat-rapat politik Megawati Sukarnoputri dan pejabat-pejabat dan usahawan-usahawan AS bertemu dengan Amien Rais dalam kunjungannya ke Washington.

Sumber oposisi yang kedua datang dari bawah. Frustrasi dan kemarahan para pelajar, pekerja dan sektor-sektor kelas menengah, yang telah menumpuk, muak dengan puluhan tahun pemerintahan yang angkuh dan terpukul berat karena runtuhnya ekonomi, meluap dalam bentuk aksi-aksi mogok menentang pemutusan hubungan kerja, keadaan di tempat kerja yang makin memburuk dan harga-harga yang melangit, dan protes-protes yang militan oleh para pelajar, para cendekiawan dan lainnya yang menuntut pemecatan Suharto dan reform-reform demokratis. Di daerah-daerah, para petani kecil dan penduduk-penduduk desa mulai berunjuk rasa tentang alasan-alasan yang berbeda, termasuk pemilikan tanah oleh Suharto dan antek-antek bisnisnya.

Di pertengahan bulan Mei posisi Suharto sudah tidak dapat dipertahankan. Walaupun dengan berlanjutnya penindasan oleh ABRI dan janji-janji Suharto yang datang terlambat, unjuk-unjuk rasa menentang anti pemerintah terus berkembang. Hal kritikal yang diperdebatkan dalam lingkungan kaum penguasa adalah kapan dan bagaimana caranya menggantinya tanpa sebuah keruntuhan aparatus negara secara kacau dan mendadak. Akhirnya, pada tanggal 12 Mei, setelah persekongkolan dibelakang layar yang berlangsung berhari-hari, Suharto menyeret kakinya ke sebuah upacara yang dihadiri oleh komandan besar ABRI Jendral Wiranto dan dengan restu Washington, dan secara resmi memberikan kekuasaan kepada anak didik lamanya B.J. Habibie.

Pemindahan kekuasaan membeli waktu untuk rejim ini tetapi itu tidaklah memecahkan masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh kelas penguasa. Walaupun mata uang Rupiah menjadi stabil sementara, hutang-hutang negara yang sangat besar masih belum terselesaikan dan ekonomi masih terus tidak bergerak maju dan sangat tidak stabil. Pelaksanaan tuntutan-tuntutan IMF untuk sebuah pengubahan struktur ekonomi (economic restructuring), pemotongan anggaran belanja dan penghapusan subsidi harga akan hanya memperburuk bencana yang tak kepalang tanggung yang menghadapi rakyat Indonesia. Penutupan-penutupan pabrik dan pemutusan-pemutusan hubungan kerja telah meningkatkan pengangguran ke 20 juta, atau kira-kira seperempat dari tenaga kerja. Menurut sebuah penafsiran resmi di akhir tahun lalu, 130 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk hidup dalam kemiskinan. Banyak pekerja-pekerja yang telah dipecat kembali ke desa-desa dan kota-kota mereka, menambah problema-problema yang sudah dihadapi oleh daerah-daerah pedesaan: akibat-akibat dari musim kemarau panjang, tingkat bunga yang melangit, melonjaknya harga pupuk, bibit dan keperluan-keperluan mendasar.

Kelas penguasa sadar bahwa mereka sedang bertengger di atas sebuah tong bubuk mesiu. Mereka tidak dapat memperbolehkan demokrasi yang sejati bilamana mereka menjalankan sebuah program yang samasekali bertentangan dengan kepentingan sebagian besar para pekerja. Tetapi sesuatu yang mirip dengan demokrasi dibutuhkan untuk mengesahkan sebuah pemerintahan yang akan mempercepat perubahan struktur ekonomi dan menetapkan tuntutan-tuntutan IMF tanpa memperdulikan adanya oposisi. Di balik permukaan mengkilap pemilihan umum “demokratis”, aparatus keamanan masih utuh dan akan digunakan dengan kekejaman yang sama seperti di bawah Suharto untuk menjaga kepentingan-kepentingan kelas penguasa.

Oposisi burjuis

Jika pemilu yang mendatang mendapat kepercayaan sedikitpun di mata rakyat jelata Indonesia itu hanya karena Habibie dapat mengandalkan dukungan dari para tokoh oposisi burjuis seperti Megawati, Rais dan Abdurrahman Wahid. Pada tiap saat penentuan selama setahun lalu, para orang yang dipanggil demokrat ini telah bertindak sebagai pengerem oposisi terhadap rejim yang didukung oleh ABRI ini—hasil dari ketakutan naluri mereka bahwa pergerakan semacam itu akan mengancam posisi-posisi mereka sebagai anggota-anggota golongan atas dan sistem profit itu sendiri.

Oposisi mereka terhadap Suharto mencerminkan kepentingan elemen-elemen kaum penguasa elit, yang seperti IMF dan AS, menganggap pemegangan ekonomi oleh rejim itu sebagai halangan untuk ambisi-ambisi mereka. Imbauan-imbauan mereka untuk pengakhiran “kronyisme (hubungan bisnis yang mendahulukan kawan), korupsi dan nepotisme (pendahuluan anggota keluarga dalam bisnis dan pemberian jabatan)” ditujukan untuk memperluas luangan-luangan untuk pendapatan profit oleh lebih banyak usahawan dan usahawati. Mereka semua telah memberikan janji untuk menjalankan program IMF. Di konperensi partai “Perjuangan PDI”-nya Oktober lalu di Bali, Megawati menganjurkan para pengikutnya untuk menyadari “era globalisasi yang membutuhkan penjalanan sistem pasaran terbuka”.

Para pemimpin ini telah terilhami secara mendalam dengan ideologi anti-komunis sayap-kanan rejim militer ini. Rais dan Wahid memimpin dua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)—yang mendukung atau berpartisipasi secara langsung dalam pembantaian-pembantaian yang diorganisir oleh Suharto dan angkatan bersenjata di tahun-tahun 1965-66, yang mengakibatkan terbunuhnya sedikitnya 500,000 pekerja, petani dan anggota-anggota PKI. Salah satu komponen utama PDI, yaitu PNI, terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Bali.

Meskipun menyebut Megawati, Rais dan Wahid sebagai “demokrat” atau “kaum oposisi” merupakan sebuah kesalahan istilah. Mereka semua mempunyai tali-tali hubungan yang tak dapat dihitung dengan junta itu dan melangsungkan hubungan yang dekat dengan eselon-eselon atas ABRI dan aparatus negara. Di bawah Suharto, mereka hanya memegang kursi kepemimpinan di partai-partai mereka dengan restu pribadinya dan dengan secara ketat berjalan di atas jalur resmi. Dalam keadaan di mana kecaman-kecaman secara umum, meskipun mengenai hal-hal kecil, sering mengakibatkan hukuman keras, tidak satupun di antara mereka yang ditahan ataupun dipenjara.

Megawati adalah anggota DPR untuk PDI selama lebih dari satu dekade, bersama dengan suami usahawannya. Ia menjadi pemimpin partai di tahun 1993 setelah Suharto menggulingkan ketua PDI Suriyadi dan setelah itu diturunkan di tahun 1996—bukannya karena membuat kecaman secara umum tetapi karena Suharto tidak tahan atas kemungkinan mendapatkan seorang saingan. Dalam berlangsungnya peristiwa-peristiwa yang menggemparkan di bulan Mei 1998, ketika ratusan ribu demonstran menuntut pemecatan Suharto, Megawati tidak dapat ditemukan di mana-mana—ia tetap tinggal di rumah dan tidak mengatakan apa-apa.

Rais dan Wahid telah memainkan peran yang mirip. Dalam bulan-bulan sebelum Mei lalu, Rais berusaha untuk memajukan dirinya sendiri di arena umum, terutama di antara para demonstran pelajar, dengan secara tertahan mengancam untuk melepaskan “kekuatan umum” terhadap junta itu. Namun secara pribadi ia tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah dan menentramkan mereka bahwa ia tidaklah merupakan sebuah ancaman. Di puncak protes-protes bulan Mei, Rais menganjurkan para pelajar untuk membatalkan demonstrasi-demonstrasi umum di Jakarta dan di balik layar, bersekongkol dengan para jendral, pejabat dan politisi untuk menjalankan sebuah perubahan yang teratur dari Suharto ke Habibie.

Untuk tetap memegang jabatan dan meramu pemilu yang palsu ini, rejim Habibie telah bergantung secara penuh pada para pemimpin oposisi. Bulan November yang lalu, kemarahan para pelajar, pekerja dan lapisan-lapisan kelas menengah dengan ketidak-adaan perubahan yang berarti telah mencapai titik kritis. Protes-protes besar diadakan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya untuk berlangsung pada saat sidang khusus MPR yang diadakan untuk memutuskan sebuah susunan baru untuk pemilihan umum yang akan datang.

Tuntutan dari para demonstran untuk turunnya Habibie dengan segara, penghapusan peran politik ABRI, pembawaan Suharto ke pengadilan dan penciptaan sebuah komite pemerintahan sementara mencerminkan ketidak-percayaan terhadap rejim itu yang meluas. Mulai dari permulaan, para kaum oposisi burjuis secara tegas menolak tuntutan-tuntutan ini. Rais memperingatkan bahwah Indonesia akan jatuh ke dalam anarki jika Habibie tidak tetap memegang jabatannya sampai diadakannya pemilu.

Sementara sidang MPR berlangsung, protes-protes itu menarik ratusan ribu orang, termasuk para pekerja dan orang-orang miskin, menaruh tekanan yang besar atas Habibie. Jakarta berubah menjadi sebuah kubu bersenjata karena ABRI memobilisasi 30,000 tentara yang bersenjata lengkap dan 100,000 “sukarelawan”, dengan dukungan kendaraan-kendaraan berlapis baja, meriam air dan tank-tank ringan, untuk mengontrol dan memecahkan demonstrasi-demonstrasi. Tetapi, meskipun dengan taktik provokasi dan intimidasi ABRI, kerumunan-kerumunan massa itu tetap tumbuh. Lain dari protes di bulan Mei, pergerakan itu lebih terpusat kepada keseluruhan rejim itu dan dengan demikian lebih berbahaya untuk kelas burjuis.

Di tengah perkembangan krisis politis itu, Megawati, Rais, Wahid dan Sultan Hamengku Buwono X dari Jogjakarta mengadakan sebuah perundingan di daerah Ciganjur di Jakarta dan mengeluarkan sebuah deklarasi bersaman, yang menganjurkan MPR untuk merubah susunan politik dan jadwal pemilihan umum yang telah diajukan. Pokok utama dari dokumen ini mengabaikan tuntutan-tuntutan para demonstran: para pemimpin oposisi mendukung Habibie sebagai presiden dan sidang MPR itu dan “dwifungsi” ABRI.

Pernyataan “Ciganjur Empat” secara politis merupakan harapan hidup baru untuk Habibie, yang sedang tertegun-tegun itu. Dengan meletakkan dukungan mereka di belakang rejim itu dan kepalsuan pemilunya, para pemimpin oposisi mempergoyah protes-protes itu, menciptakan perpecahan di antara para demonstran dan memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membubarkan mereka. Di tanggal 13 November, Habibie dan Menteri Hankam Jendral Wiranto melepaskan para tentara yang menembak ke arah para demonstran dari jarak dekat, menewaskan paling sedikit tujuh orang dan melukai banyak orang lainnya.

Pelajaran sejarah

Kelakuan para pemimpin oposisi sekarang menunjukkan sekali lagi ketidakmampuan dari sektor mana saja dari kelas kapitalis Indonesia, yang lemah dan korup sepenuhnya, untuk memimpin sebuah perjuangan untuk mencapai sebuah reform demokratis atau persamaan sosial.

Kelas burjuis di Indonesia selalu menjadi tunduk secara ekonomis dan politis kepada salah satu kekuatan imperialis utama di dunia. Mereka berasal dari lapisan sosial yang sempit yang terdiri dari tuan-tuan tanah, kaum aristokrat rendahan, pedagang-pedagang dan pegawai negeri yang merupakan penyanggah utama kekuasaan kolonial Belanda. Arahan politis para pemimpin burjuis seperti Sukarno, ayah Megawati, presiden pertama Indonesia, tidaklah pernah untuk memobilisasi rakyat untuk melawan Belanda, sebaliknya menggunakan kebencian yang meluas terhadap kekuasaan kolonial, untuk mencapai sebuah perjanjian dengan pemerintahan Belanda.

Ketika pasukan Jepang menjajah di tahun 1942, Sukarno berusaha untuk mengadakan perjanjian dengan kekuatan baru itu, dengan harapan untuk mencapai perjanjian untuk “kemerdekaan” dengan Jepang. Sebagai hasilnya, ia menjadi jurubicara untuk pernyataan-pernyataan Jepang bahwa mereka sedang mengadakan perang pembebasan melawan kekuatan-kekuatan kolonialis Eropa dan boneka politik pasukan penjajah yang terbenci itu.

Selama periode 1945 sampai 1949, ketika Belanda mencoba untuk menjajah bekas koloni mereka, Sukarno, sebagai pemimpin dari Republik Indonesia yang mendeklarasikan kemerdekaan sendiri, secara berulang-ulang mengkhianati mereka yang melawan pasukan militer Belanda. Ia melepaskan daerah kekuasaan dan sumber-sumber alam di perjanjian-perjanjian Linggardjati dan Renville, yang memperbolehkan Belanda untuk memperketat tali gantungan mereka di seputar republik itu dan menyerang basis utama mereka di Jogjakarta. Setelah Belanda—di bawah tekanan AS—pada akhirnya menyerahkan kekuasaan mereka, Sukarno menyetujui untuk mengambil alih hutang-hutang bekas koloni itu dan menjamin keamanan kemilikan dan investasi para kolonis Belanda.

Dalam 50 tahun setelah kemerdekaan resmi di tahun 1949, kaum burjuis Indonesia tidaklah pernah dapat berkuasa dengan menggunakan cara-cara demokratis. Hasil-hasil dari pemilu bebas dan terbuka yang pertama di tahun 1955 secara sepihak dinyatakan tidak sah oleh Sukarno dan lebih dari itu dua tahun setelah itu ia membubarkan parlemen dan konstituante yang terpilih. Atas dasar UUD 1945, sebuah dokumen yang ditulis di bawah pengawasan Jepang di masa perang, Sukarno memulai apa yang disebut Demokrasi Terpimpin—sebuah istilah yang menggambarkan kekuasaannya secara pribadi dengan bantuan jendral-jendral militer, pejabat-pejabat negara dan pemimpin-pemimpin politik yang tak terpilih, termasuk anggota-anggota PKI yang Stalinis.

Dari banyak sudut, periode akhiran tahun 1950an dan permulaan tahun 1960an mempunyai persamaan yang banyak dengan situasi di Indonesia sekarang ini. Negara itu sedang dalam krisis ekonomi. Para pekerja, petani kecil dan orang-orang miskin di kota dan desa sedang berjuang untuk tuntutan-tuntutan mereka melalui aksi-aksi mogok, pendudukan tanah dan protes-protes. Sukarno sedang berjalan di atas tali politik—di dalam negeri, di antara angkatan bersenjata dan PKI, dan di luar negeri antara AS dan blok Soviet. Di tengah sebuah peperangan yang sedang meluas di Indocina, AS menjadi sangat khawatir atas konsekuensi-konsekuensi sebuah pergejolakan sosial di Indonesia dan mulai bersekongkol dengan angkatan bersenjata untuk menggulingkan Sukarno.

Kudeta militer 1965-66 dan pembantaian politik yang menyusul, yang merupakan bencana untuk kelas pekerja baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, bukanlah merupakan sesuatu yang harus terjadi. Pengalahan angkatan bersenjata dan regu-regu pembunuh mereka membutuhkan mobilisasi para pekerja dan petani secara mandiri—sebuah proses yang akan secara pasti menciptakan konflik dengan Sukarno yang secara pasif menyetujui penggulingan dirinya dari jabatannya. Tanggung jawab yang paling besar adalah di tangan PKI, yang saat itu merupakan Partai Komunis yang ke tiga terbesar di seluruh dunia. Mereka mengikat kelas pekerja ke Sukarno, dan meskipun ketika pembantain itu sedang berlangsung, mereka tetap bersikeras bahwa para pekerja, petani dan anggota tidak mengambil tindakan apa-apa untuk mempertahankan diri.

Pengkhianatan PKI merupakan hasil akhir dari perspektif mereka yang mengebawahkan kepentingan rakyat terhadap kepentingan kaum burjuis nasional. Setelah menanggalkan program internasionalisme sosialis, para Stalinis itu mengajukan bahwa, menghadapi desakan dari rakyat, salah satu sektor dari kelas kapitalis akan mengadakan sebuah perjuangan politik untuk reform-reform yang progresif. Berulang-kali di dalam periode 1945-1965, Sukarno secara langsung mengandalkan para pemimpin PKI untuk menahan ketidakpuasan sosial dan mendukung kesan bahwa ia adalah seorang “anti-imperialis” dan “pelindung orang miskin”. Sama sekali tidak bergeser ke arah kiri, Sukarno dan pemimpin-pemimpin burjuis yang lain menjawab sebuah perkembangan pergerakan massa dengan permusuhan dan pada akhirnya penekanan dengan kekerasan—seperti yang ditunjukkan dengan penghukuman mati para pemimpin dan pendukung PKI setelah apa yang dipanggil peristiwa Madiun di tahun 1948, dan di tahun-tahun 1965-66 dalam skala yang jauh lebih besar.

Besarnya derajat tindakan kekerasan itu dan tetap digunakannya penahanan, penyiksaan dan pemenjaraan yang sewenang-wenang oleh rejim Suharto, mencerminkan ketidakmungkinan perdamaian dalam permusuhan antar-kelas antara elit penguasa yang kecil yang berkehidupan mewah dan rakyat yang tertindas di Indonesia. Selama 32 tahun pemerintahannya, kelas kapitalis telah menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk mengadakan perlawanan yang berarti terhadap kekuasaannya.

Kejadian-kejadian tahun-tahun 1965-66 merupakan peringatan tajam akan bahaya-bahaya besar yang menghadapi kelas pekerja di Indonesia sekarang. Pergejolakan-pergejolakan ekonomi, politik dan sosial tahun lalu telah menggoyahkan kepercayaan diri kelas burjuis, tetapi aparatus negara dan militer mereka masih utuh, dan mereka sedang menunggu dan mempersiapkan diri untuk mengalahkan kelas pekerja secara meyakinkan.

Setelah pengunduran diri Suharto, seluruh rejim itu terpaksa membuat wajah mereka kelihatan lebih demokratis untuk mendapat kepercayaan di mata rakyat. Pejabat-pejabat partai yang berkuasa, pejabat-pejabat pemerintah dan jendral-jendral yang kejam tiba-tiba menyatakan bahwa mereka semua adalah pendukung perubahan demokratis dan reformasi. Habibie telah terpaksa mengadakan konsesi-konsesi kecil, membebaskan tahanan-tahanan politik yang tertentu, merestui debat umum yang lebih meluas dan mengadakan penyelidikan yang hanya merupakan nama ke dalam perbuatan-perbuatan Suharto yang “berlebihan”.

Tetapi, wajah rejim itu yang sebenarnya dapat dilihat di Timor Timur, Irian Jaya dan Aceh di mana ABRI, yang di beberapa insiden bersama dengan tukang-tukang pukul lokal, tidaklah segan menteror dan membunuh secara terbuka para pendukung pergerakan-pergerakan separatis lokal. Tindakan-tindakan yang sekarang sedang dites di daerah-daerah itu akan digunakan di masa mendatang terhadap para pekerja, petani kecil, pelajar dan siapa saja yang merupakan ancaman buat rejim itu.

Siapa saja yang menganggap pemerintahan yang dipimpin oleh sebuah kombinasi orang-orang yang dipanggil demokrat seperti Megawati, Rais dan Wahid akan menjadi berbeda, ia harus secara hati-hati mempertimbangkan implikasi-implikasi oposisi Megawati terhadap kemerdekaan Timor Timur. Megawati terus mempertahankan invasi Timor Timur di tahun 1975 dan dua dekade pemerintahan yang kejam yang telah meminta paling sedikitnya 200.000 jiwa. Jika Megawati bersedia untuk mempertahankan Timor Timur dengan segala cara, maka ia akan menggunakan cara-cara yang sama terhadap rakyat Indonesia.

Sebuah perspektif independen untuk kelas pekerja

Di negara-negara seperti Indonesia dengan perkembangan kapitalis yang terlambat, kelas pekerja adalah satu-satunya kekuatan sosial yang dapat mengadakan sebuah perjuangan politik yang konsisten untuk sebuah demokrasi sejati dan reform sosial yang progresif dan dengan itu memobilisasi para orang miskin urban, sektor-sektor kelas menengah, dan para petani kecil, petani tak bertanah dan para buruh agrikultur untuk pengambilan alih kekuasaan dan pembentukan sebuah pemerintahan pekerja dan petani. Dalam perjuangan untuk reform-reform demokratis, peningkatan tingkat kehidupan, penghapusan penindasan berdasarkan ras dan kewarganegaraan dan terhadap ketuan-tanahan, kelimpah-daratan dan peninggalan-peninggalan dari feodalisme di pedesaan, kelas pekerja akan terdorong untuk memecahkan dominasi kehidupan ekonomi oleh modal keuangan internasional dan kelas kapitalis—yaitu, memulai pengorganisiran masyarakat melalui jalur-jalur sosialis.

Untuk mendapatkan dukungan aktif dari orang-orang miskin kota dan desa, petani-petani kecil, pemilik-pemilik toko kecil dan para pedagang kecil bersamaan dengan para cendekiawan, pelajar dan orang-orang profesional, kelas pekerja haruslah mengadakan perjuangan tanpa kompromi untuk kemandirian politiknya dari kelas burjuis dan wakil-wakil mereka, termasuk bermacam-macam kelompok radikal petit-burjuis dan partai-partai seperti Partai Rakyat Demokrasi (PRD).

Sangatlah perlu dipelajari bahwa, PRD, yang dahulunya dicap sebagai komunis oleh rejim Suharto, merupakan salah satu dari 48 partai yang secara resmi diakui setelah sebuah proses pengecekan yang ketat, yang tanpa keraguan termasuk pengecekan oleh organisasi-organisasi intelijen negara. Jauh dari sebuah partai sosialis atau Marxis, PRD mendasarkan diri mereka secara jelas atas kolaborasi dengan sektor-sektor dari kelas kapitalis dalam sebuah “Pemerintah Koalisi Rakyat, yang merupakan sebuah koalisi kelas-kelas, sektor-sektor dan grup-grup yang progresif”. Tanpa dapat diragukan, anggota-anggota kelas burjuis memperhitungkan bahwa PRD, seperti PKI, dapat memainkan peranan yang berguna di masa dekat untuk menahan pergerakan kelas perkerja yang timbul.

Di masa lalu, PRD seperti seorang budak mendukung Megawati sebagai pejuang untuk hak-hak demokratis dan berharap akan kemungkinan pemerintah AS dan sektor-sektor ABRI akan mendukung sebuah “koalisi kelas-kelas progresif” seperti itu. Setelah ketidakpuasan yang meluas kepada para “Ciganjur Empat”, terutama di kalangan pelajar, setelah penembakan oleh ABRI di bulan November lalu, PRD terdorong untuk mengubah arahan politik mereka—sebagai gantinya mereka mencari “sebuah persekutuan dengan golongan-golongan Islam” di Aceh, Lampung dan daerah lainnya. Apa yang sama dalam semua pergeseran dan manuver politik PRD adalah bahwa mereka mengebawahkan kelas pekerja kepada macam-macam formasi burjuis, dan dengan demikian kepada kelas kapitalis.

Walaupun PRD tidak mempunyai kekuatan dan pengaruh yang dulu dipegang oleh PKI, program politiknya, dengan menghalangi perkembangan pergerakan mandiri kelas pekerja, merupakan bahaya yang sama dalam periode yang penuh dengan pergejolakan sosial dan politik yang akan mendatang. Untuk memperjuangkan kepentingan kelas mereka sendiri dan mendapatkan dukungan dari para rakyat yang tertindas, kelas pekerja Indonesia harus membangun organisasi-organisasi perjuangan politik mereka sendiri—dan yang paling penting, sebuah partai sosialis yang bertujuan penghapusan sistem profit yang telah ketinggalan jaman dan menindas itu.

Apa yang mesti diperbuat?

* Semua keputusan yang bersangkutan dengan susunan politik dan konstitusi tidak dapat dibiarkan di tangan badan-badan yang berasal dari era Suharto atau komite-komite yang terdiri dari jendral-jendral ABRI dan politisi burjuis. Sebuah badan perwakilan yang sejati—sebuah konstituante—haruslah dipilih menurut hak pilih umum untuk memutuskan dasar reform-reform demokratis. Bukan hanya semua tahanan politik harus dibebaskan secepatnya tetapi segala macam undang-undang dan regulasi yang menghalangi pembentukan partai-partai politik, kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul haruslah dihapuskan untuk menciptakan kondisi untuk diskusi dan perdebatan politik yang sangat meluas.

* Penindasan ekonomi dan politik atas para petani haruslah dihentikan. Jutaan petani kecil dan keluarga mereka hidup dalam kemiskinan di seluruh Indonesia tanpa tanah yang cukup, terbeban hutang-hutang besar, menjadi mangsa tuan-tuan tanah dan kurangnya mesin-mesin, alat-alat, pupuk dan pembasmi hama. Banyak yang telah dipaksa meninggalkan sawah mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan agribisnis dan para pembangun. Perkebunan-perkebunan yang besar harus dinasionalisasi, di bawah pengawasan para petani dan buruh agrikultur, untuk menciptakan tunjangan untuk para petani kecil.

* Hak-hak demokrasi rakyat adalah terikat erat dengan perjuangan untuk ekualitas sosial, penghapusan diskriminasi yang berdasarkan ras dan agama dan penghapusan pemerasan dan kemiskinan. Setiap pekerja seharusnya dijamin sebuah pekerjaan yang patut dan bayaran yang cukup. Semua pemuda dan pemudi harus dapat memperoleh pendidikan yang gratis dan berkualitas tinggi. Perluasan program-program kesehatan umum dan kesejahteraan sosial haruslah ditetapkan supaya orang-orang usia lanjut, sakit dan cacat tidak harus mengemis di jalan-jalan umum atau merana dan meninggal dalam kemiskinan.

* Sebagai langkah pertama untuk merealisasi tujuan-tujuan ini, kekayaan besar dari keluarga Suharto, yang diperkirakan mencapai 15 milyar dollar AS, dan semua antek-anteknya, termasuk Habibie dan yang lainnya dalam pemerintah yang sekarang, haruslah dirampas dan digunakan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan umum yang dijalankan oleh dan untuk para pekerja. Gunungan hutang-hutang kepada bank-bank internasional, pemberi-pemberi kredit dan perusahaan-perusahaan transnasional haruslah segera tidak diakui, bersamaan dengan rencana-rencana IMF untuk memperbesar pemerasan ekonomi rakyat Indonesia.

* Perjuangan untuk mempersatukan rakyat yang tertindas di Indonesia membutuhkan sebuah penolakan yang penuh terhadap semua bentuk diskriminasi yang berdasarkan ras dan agama. Kerusuhan-kerusuhan yang berlanjut di kepulauan Indonesia merupakan contoh-contoh terakhir bagaimana kelas penguasa secara sengaja menyalakan api kefanatikan ras dan agama untuk menciptakan permusuhan di antara kaum pekerja. Semua undang-undang dan regulasi yang mendiskriminasi terhadap orang-orang etnis Cina atau golongan lainnya haruslah ditidakberlakukan. Semua tentara Indonesia harus segera mengundurkan diri dari Timor Timur, Irian Jaya dan Aceh untuk menciptakan landasan untuk sebuah hubungan persaudaraan dengan penduduk-penduduk daerah ini.

* Demokrasi sejati membutuhkan sebuah perjuangan untuk sekulerisme, terutama terhadap pengaruh-pengaruh para pendeta-pendeta Islam dan golongan-golongan fundamentalis yang bertujuan menetapkan hukum-hukum Islam dan sebuah negara Islam. Itu sangatlah penting untuk mengakhiri penindasan kaum wanita dan kaum-kaum agama minoritas, dan untuk menetapkan pemisahan yang menyeluruh antara agama dan negara, termasuk penghapusan ideologi Pancasila.

Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan yang mendatang, ketegangan-ketegangan politik akan, tanpa keraguan, meningkat, dan membawa semua soal-soal politik dan soal-soal bersejarah yang tak pernah terpecahkan kembali ke permukaan. Para pekerja sedang berhadapan dengan fakta bahwa kebutuhan mendasar mereka dan aspirasi mereka adalah tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sistem profit. Hanya dua tahun yang lalu tidaklah kurang ahli ekonomi yang mengajukan bahwa kekuatan apa yang disebut sebagai harimau-harimau Asia itu menunjukkan kelangsungan dari ekonomi pasaran kapitalis dan menciptakan jalan baru menuju perkembangan dan kesejahteraan. Dongeng-dongeng ini sekarang telah hancur.

Sebuah periode baru yang penuh dengan pergejolakan sosial dan politik telah mulai. Kehancuran ekonomi Asia telah menyingkapkan sebuah ketidakseimbangan global yang makin mendalam, yang bergejala produksi berlebihan yang kronis dan kemerosotan di sektor-sektor luas di dunia, permusuhan-permusuhan dan perselisihan-perselisihan perdagangan yang sengit dan meningkatnya petualangan militer yang serampangan oleh negara-negara besar, terutama AS, di Timur Tengah, Afrika dan sekarang di daerah Balkan. Di balik topeng kekhawatiran akan “hak perikemanusiaan” sebuah gerakan untuk pembagian dunia menjadi koloni-koloni sedang berkembang—tersingkap secara jelas dalam pemboman Yugoslavia oleh NATO dan tuntutan-tuntutan mereka untuk secara de fakto menjadikan Kosovo sebuah daerah protektorat militer.

Hanyalah kelas pekerja yang dapat menawarkan penyelesaian progresif untuk bencana yang mengahadapi umat manusia, di Indonesia maupun di mana saja. Dengan melepaskan belenggu modal keuangan internasional dan menghentikan kekuasaan kelas kapitalis, pembentukan sebuah pemerintah pekerja dan petani di Indonesia, negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia, akan memberikan dorongan untuk perjuangan-perjuangan rakyat-rakyat di Asia dan akan menggema di seluruh dunia, menciptakan kemungkinan untuk sebuah perang internasional melawan sistem profit.

Para pekerja, pelajar, cendekiawan dan lainnya di Indonesia perlu mempelajari pengalaman-pengalaman mereka dalam setahun lalu dalam hubungan dengan krisis susunan sistem kapitalis yang sedang berkembang ini dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang penting. Apa yang dibutuhkan di Indonesia adalah pendirian sebuah partai yang berdasarkan dua prinsip pokok yang berhubungan erat: perjuangan tanpa kompromi untuk kemandirian politik kelas pekerja dari semua faksi kaum burjuis, dan penyatuan para pekerja Indonesia dengan rekan-rekan kelas mereka di seluruh dunia untuk tujuan bersama yaitu pengorganisiran dunia secara sosialis. Komite Internasional Internasional Keempat adalah satu-satunya partai yang berjuang untuk program internasionalisme sosialis ini.