Hamil Diputus Kontrak Adalah Kejahatan terhadap HAM

Pertanyaan :

“Di dalam kontrak kerja saya terdapat kalimat yang menyatakan bahwa selama masa kontrak 2 tahun, jika hamil akan diputus kontraknya tanpa ganti rugi dan sudah saya tanda tangani waktu pertama kali bekerja. Apakah benar hal tersebut melanggar hukum ? Karena mayoritas buruh perempuan di tempat kami menandatangani kontrak yang isinya sama” – (Cahya, +6285700087xxx)

Jawaban :

Foto iilustrasi. Sumber: Antaranews.com

Dalam membuat perjanjian kerja, atau biasa dikenal dengan kontrak, ada persyaratan yang harus dipenuhi seperti disebutkan dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 52 ayat (1), yaitu kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Masih di dalam UU Ketenagakerjaan, di dalam pasal 153 ayat (1) huruf e dinyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya. Maka perjanjian kerja yang menyebutkan klausul tentang pemutusan hubungan kerja apabila buruh perempuan hamil telah bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Klausul yang dinyatakan dalam perjanjian kerja tersebut juga dianggap sebagai tindakan diskriminasi yang dalam UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena tindakan tersebut telah membatasi hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan dalam pasal 10 ayat (1). Juga melanggar pasal 38 ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang, baik pria maupun wanita, yang melakukan pekerjaan yang sama, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

Pemutusan hubungan kerja dikarenakan buruh perempuan hamil juga melanggar UU no.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Isi dari konvensi tersebut dalam pasal 11 tentang Hak Untuk Bekerja adalah melarang pemecatan atas dasar kehamilan dan memberlakukan cuti hamil [1].

Maka berdasarkan pelanggaran berbagai Undang Undang yang telah disebutkan diatas, UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 52 ayat (3) telah mengatur bahwa perjanjian kerja yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1) huruf c dan d adalah batal demi hukum.

Untuk menindaklanjuti pelanggaran UU dalam perjanjian kerja tersebut, maka buruh perempuan dapat melaporkan kasus ini ke bidang pengawas ketenagakerjaan di Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk dimintakan nota pengawasan membatalkan klausul yang menyatakan bahwa buruh perempuan akan diputus hubungan kerjanya jika hamil selama jangka waktu perjanjian kerja berlangsung.

Kasus pelanggaran hak perempuan seperti tersebut diatas pada kenyataannya masih banyak ditemui di Indonesia dan kebanyakan buruh perempuan tidak menolak perjanjian kerja yang demikian dikarenakan persoalan kemiskinan. Sehingga memaksa buruh perempuan untuk menerima perjanjian tersebut, meski melanggar hukum, sepanjang ia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu untuk hidup. Dengan demikian kasus ini semestinya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia, bukan sekedar pelanggaran aturan ketenagakerjaan biasa.

Untuk lemahnya pengawasan di bidang ketenagakerjaan terhadap hal ini, juga menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap rakyatnya, sebuah pemerintahan yang melakukan kejahatan hak asasi manusia terhadap rakyatnya sendiri, yaitu hak untuk memperoleh jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil. Hal ini menegaskan bahwa pilihan terbaik bagi buruh untuk mempertahankan haknya, hanyalah dengan jalan mengorganisasikan diri ke dalam serikat buruh dan kemudian melakukan perlawanan secara kolektif terhadap perampasan hak-haknya.

Catatan :

1.       http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/cedaw.pdf (isi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan telah diratifikasi melalui UU no. 7 tahun 1984)

UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 52

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a.      kesepakatan kedua belah pihak;
b.      kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.       adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.      pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.

(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.

UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Bagian Kedua

Hak Untuk Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan

Pasal 10

(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Pasal 38

(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

Sebarkan..

Tinggalkan Balasan