Berita

Deklarasi Bersama WTT dan PPLP-KP menolak rencana mega proyek Kulon Progo

By  | 

Yogyakarta – Petani pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) melakukan deklarasi perjuangan bersama menolak penggusuran dan perampasan tanah di DI Yogyakarta. Deklarasi tersebut dilakukan melalui konfrensi pers pada selasa (10/5) di Media Center Wates, Kulon Progo.

Deklarasi perjuangan bersama tersebut merupakan penegasan sikap penolakan WTT dan PPLP-KP atas rencana mega proyek Kulon Progo yang mengancam hilangnya ruang hidup mereka. Mega proyek tersebut adalah rencana pembangunan Bandara Kulon Progo dan rencana pembangunan tambang pasir besi di lima desa pesisir selatan Kulon Progo.

Meskipun mereka sudah kerap melakukan kerjasama dalam perjuangannya, akan tetapi dengan deklarasi yang dilakukan, mereka berharap perjuangan ke depan menjadi lebih strategis dan kuat. “Investor saja bisa bekerja sama dengan pemerintah dalam merampas tanah-tanah rakyat kenapa kami sesama petani yang menjadi korban tidak, sebetulnya perjuangan bersama sudah dilakukan sejak lama, tapi kami belum secara resmi memberitahukan ke publik, selain deklarasi ini kami juga akan melakukan perjuangan bersama secara lebih strategis lagi”, ungkap Widodo, selaku Humas PPLP-KP.

Pernyataan tesebut juga disambut Martono, yang menyatakan bahwa situasi WTT yang terdesak dalam perjuangan penolakan bandara membuat WTT harus dapat mengajak orang-orang yang senasib untuk melakukan konsolidasi dalam perjuangan melawan perampasan tanah. “golek bala, pemerintah juga bersama Angkasa Pura melawan kami, maka kami juga harus bersatu”, tegas Ketua WTT ini.

Selain konfrensi pers, WTT dan PPLP-KP juga mengirimkan surat pernyataan sikap atas penolakan terhadap beberapa kebijakan Negara yang berpotensi merusak dan merampas ruang hidup petani terutama melalui pembangunan Bandara Kulon Progo dan tambang pasir besi. Surat tersebut secara resmi ditujukan kepada Presiden RI, Joko Widodo, serta ke pihak-pihak yang bertanggung jawab atas  persoalan yang mereka hadapi hari ini. Ada 17 surat yang ditujukan ke berbagai lembaga negara, 4 kedutaan besar, UGM, Gubernur DIY, Bupati Kulon Progo, serta 9 Kepala Desa yang wilayahnya terdampak di 3 kecamatan.

Ada 7 pernyataan sikap bersama dalam surat tersebut yaitu, (1) menolak rencana iembangunan bandar udara Kulon Progo tanpa syarat; (2) menolak dan menuntut dicabutnya peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016; (3) menolak rencana pembangunan tambang pasir besi tanpa syarat; (4) menolak untuk dilibatkan sebagai pihak Tergugat Intervensi (kasus Suparno) dalam sengketa gugatan antara Pakualam X dan BPN; (5) menolak Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY tanpa syarat, karena bagi mereka UUK DIY telah mendorong meluasnya konflik agraria di Provinsi DIY; (6) menolak legitimasi SG/PAG dalam ruang hidup mereka; (7) menolak Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (Lihat isi Deklarasi Perjuangan Warga Pesisir Selatan Kulon Progo)
Undang-Undang Keistimewaan Pemicu Konflik agraria di DIY

Sejak UUK DIY disahkan, Kasultanan Yogyakarta berubah status menjadi Badan Hukum Warisan Budaya (swasta) yang bersifat khusus dan dapat memiliki tanah. Klaim kepemilikan tanah tersebut didapat dengan cara menghidupkan kembali SG/PAG, dengan merujuk pada Rijksblad No. 16 tahun 1918 dan Rijksblad No.18 Tahun 1918. Padahal, kedua Rijksblad tersebut telah dihapus oleh Sri Sultan HB  IX melalui Perda DIY No.3 Tahun 1984, sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No.33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Akan tetapi, aturan hukum kolonial tersebut masih saja digunakan sebagai sandaran utama bagi pengambilalihan tanah-tanah milik warga dengan mengatasnamakan keistimewaan dan pembangunan.

Hal inilah yang menjadi argumentasi Suparno (44), salah satu anggota PPLP-LP yang menolak untuk dilibatkan sebagai tergugat intervensi dalam kasus gugatan antara PAG dan BPN dalam sertifikasi tanah PAG. “SG/PAG sebetulnya sudah tidak ada setelah diberlakukannya UUPA sejak tahun 1984 dan kami sudah hidup di pesisir selatan sejak nenek moyang kami dulu makanya kami tidak mengakui tanah kami milik PAG”, ungkap pria yang biasa dipangil Parno itu.

Realisasi pembangunan dua mega proyek Kulon Progo berada di lokasi-lokasi yang diklaim sebagai tanah milik PAG akhirnya menimbulkan konflik pertanahan antara petani pesisir dan Kesultanan/Pakualaman, yang mana Sultan serta Pakualam sendiri merangkap sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Meski warga masih bertahan dan menghidupi lahan produktif yang diklaim milik Kasultanan/Pakualaman tersebut, bukan berarti warga terbebas dari ancaman, mulai dari kriminalisasi hingga jebakan ‘drama’ hukum yang saat ini sedang dihadapi. Kasus demi kasus, serta konflik demi konflik yang terjadi di DIY ini kian menegaskan bahwa Yogyakarta sedang tidak baik-baik saja.

Widodo juga menambahkan  bahwa terbitnya UUK DIY menjadi salah satu pemicu dari berbagai konflik agraria di DIY. “Kondisi di DIY sangat kacau setelah Undang-undang  Keistimewaan DIY disahkan, tidak hanya di pesisir Kulon Progo, di tempat lain juga ada warga yang konflik dengan Kesultanan dan Pakualaman terkait ruang hidupnya (tanah) yang dilaim sebagai SG/PAG”, pungkasnya.

Leave a Reply

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *