World Socialist Web Site
 

WSWS : Bahasa Indonesia

Keresahan sosial meluap dalam demonstrasi di Timor Timur

Oleh John Ward dan Peter Symonds
11 Desember 2002

Use this version to print | Send this link by email | Email the author

Setidaknya dua orang terbunuh dan lebih dari 20 terluka dalam bentrokan dengan polisi dan tentara selama dua hari demonstrasi dan penjarahan oleh pelajar dan pemuda pengangguran di Ibukota Timor Timur, Dili. Keadaan tetap menyekam setelah pemerintah menetapkan jam-malam pada hari Rabu dan memanggil pasukan PBB untuk membantu polisi mengamankan gedung-gedung vital dan mematroli jalan-jalan kota itu. Sebagian besar pertokoan dan usaha-usaha, dan juga perguruan tinggi dan sekolah menengah umum, tutup kemarin.

Demonstrasi oleh para pelajar meledak pada hari Selasa setelah polisi memasuki sebuah sekolah menengah umum untuk menangkap seorang pelajar yang dituduh terlibat dalam kekerasan gang. Pada hari Rabu pagi, setidaknya 500 pelajar dan unsur masyarakat lainnya berkumpul di depan Kantor Pusat Polisi di Dili untuk memprotes penangkapan tersebut. Presiden Xanana Gusmao datang ke kantor polisi untuk menghimbau ketenangan namun tidak dihiraukan dan harus segera dikawal masuk setelah batu-batu mulai berterbangan.

Polisi menjawab pelemparan batu dengan tembakan peringatan dan lalu menembak ke dalam kumpulan massa, membunuh setidaknya seorang pelajar, dan tambah menimbulkan kebencian ketika mereka mencoba mengambil jazad sang pelajar. Para pelajar yang penuh kemarahan disertai oleh masyarakat umum dalam kerusuhan yang ditujukan kepada pemerintah, PBB dan usaha-usaha milik pengusaha asing. Para demonstran menjarah dan membakar toko-toko, kendaraan-kendaraan dan gedung-gedung, termasuk rumah tinggal Perdana Menteri Mari Alkatiri, gedung parlemen dan mesjid Dili.

Pejabat Timor Timur mengumumkan bahwa dua orang terbunuh —— salah satunya seorang pelajar berusia 14 tahun, Honorio Ximenes—namun angka kematian bisa menjadi lebih tinggi. Para saksi mata menyatakan bahwa polisi menembak dan membunuh sampai dengan lima orang. Saturnino Saldaha, seorang dokter di rumah sakit Dili, menyatakan bahwa fasilitasnya dipenuhi oleh pemuda-pemuda yang terluka parah dan sangat membutuhkan donor darah. Sekitar 80 orang telah ditangkap karena penjarahan dan berbagai tuduhan lain dan kini ditahan di fasilitas PBB di Tasielo di luar Dili.

Gusmao, Alkatiri dan yang lainnya segera berusaha menyalahkan “provokasi luar” dan mempertegas bahwa mereka yang terlibat akan menghadapi sepenuhkan hukum yang berlaku. “Terdapat di antara mereka yang bukan dari sekolahan itu (sekolah menengah umum di mana pelajar itu ditangkap), dan merekalah yang menghasut kejadian ini,” Gusmao menyatakan.

Alkatiri menapis pernyataan bahwa demonstrasi ini merupakan perwujudan ketidakpuasan terhadap pemerintah, ia menyatakan: “Hal ini tidak ada hubungannya dengan ketidakpuasan umum, hanya dengan situasi yang dimanfaatkan oleh orang-orang lain.”

Menteri Dalam Negeri Rogerio Lobato secara tegas menyimpulkan bahwa para demonstran merupakan “suatu tindakan terorganisir untuk menjatuhkan pemerintahan.” Ia dan beberapa pejabat menuduh bahwa CDP-RDTL (Komite Pertahanan Sipil—Republik Demokrasi Timor Timur) berada di balik kerusuhan ini. Organisasi ini, yang menentang kehadiran PBB dan menyerukan kemerdekaan menyeluruh untuk Timor Timur, telah mengorganisir beberapa demonstrasi anti-pemerintah.

Pemerintah sangat jelas mencari kambinghitam untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Terdapat suatu jurang pemisah sosial yang besar antara segelintir kaum elit yang terdiri dari pejabat pemerintahan, pengusaha, pejabat asing, pekerja sosial asing dan pasukan asing dengan sebagian besar dari masyarakat, sebagian besar dari mereka tidak mempunyai pekerjaan dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Para pemuda, terutama, sangat marah bahwasanya luangan untuk pendidikan dan memperoleh pekerjaan adalah sangat kecil. Di antara usaha-usaha yang dijarah pada hari Rabu adalah supermarket milik-Australia “Hello Mister”, yang mengkhususkan diri menyediakan kebutuhan import untuk para pekerja PBB dan pekerja asing. Di mana pasukan PBB dan para pejabatnya dibayar tunjangan hidup sebesar US$100.00 per hari, sebagian besar penduduk Timor Timur berjuang mati-matian hanya untuk hidup dari hari kehari. Sebagian kecil dari mereka yang dapat pekerjaan berpenghasilan rata-rata US$6.00 per minggu.

Perkiraan pengangguran berkisar antara 70 sampai dengan 80 persen. Lagi pula, hal ini bertambah parah setelah Timor Timur menyatakan secara resmi deklarasi kemerdekaan pada 20 Mei 2002, halmana jumlah pegawai PBB berkurang. Kesulitan yang dihadapi oleh para penduduk pedesaan di daerah perdalaman bertambah dengan parahnya musim kemarau. Walau dengan batas garis kemiskinan resmi ditetapkan senilai US$0.50 sen per hari, suatu penelitian PBB tahun lalu menemukan bahwa 60 persen dari masyarakat di perdalaman hidup dalam kemiskinan. Pendidikan dan jasa kesehatan sangatlah sederhana.

Sebagian besar penduduk Timor Timur merasa dikhianati setelah janji-janji yang diberikan menyusul intervensi militer PBB yang dipimpin oleh Australia ke Timor Timur tidak terwujud. Tampak sangat tegang dengan keadaan ini, Perdana Menteri Australia John Howard menelepon mitranya di Dili menjanjikan pemberian bantuan keuangan—untuk memperkuat kemampuan kepolisian dan kehakiman, dan bukannya untuk meniadakan penyebab pokok akan krisis social itu.

Pandangan bahwa administrasi Alkatiri berkuasa hanya untuk suatu kelompok elite yang kecil dipertegas dengan keputusannya untuk menggunakan bahasa Portuguese, bahasa dari kekuatan penjajah terdahulu, sebagai bahasa resmi negara. Sebagian besar dari masyarakat —-sekitar 90 persen—- hanya dapat berbahasa Indonesia atau Tetum dan berbagai bahasa lokal lainnya dan dengan sendirinya tidak dapat bekerja untuk pemerintahan dan tersingkir dari parlemen, pengadilan dan berbagai institusi resmi pemerintahan.

Salah satu permasalahan yang menimbulkan amarah terhadap polisi adalah klaim bahwa dalam jajaran kepolisian terdapat bekas anggota milisi pendukung Indonesia yang mengobarkan gelombang kekerasan melawan para pendukung kemerdekaan sebelum dan setelah referendum akan status Timor Timur yang disponsori oleh PBB di tahun 1999. Pemerintah telah terpaksa menyetujui bahwa pemerintah akan memberikan prioritas di hari esok untuk para bekas pejuang kemerdekaan untuk mengisi ratusan lowongan pekerjaan kepolisian.

Kesengsaraan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat telah menimbulkan berbagai demonstrasi anti-pemerintahan. Pada tanggal 28 Nopember 2002, selagi pejabat pemerintah melaksanakan acara peringatan perayaan akan percobaan pertama deklarasi kemerdekaan Timor Timur ditahun 1975, sekitar 3000 orang berkumpul untuk menentang Alkatiri dan kebijaksanaan pemerintahannya. Pada acara resminya, Gusmao merasa perlu mengaku pada massa bahwa “kita lebih tergantung dari sebelumnya, untuk hidup dari kekuatan dan kemampuan orang-orang lain”.

Usaha oleh Gusmao dan Alaktiri untuk menyalahkan demonstrasi minggu ini pada “agitasi dari luar” sekedar menunjukan posisi mereka yang makin terkucil. Tidak mampu menjawab permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat, pemerintah memberi signal akan kehendak pemerintah untuk mematahkan segala jenis perlawanan politik. Dengan tindakan semacam ini, pelaksanaannya tergantung semata hanya pada 4,700 pasukan asing dan polisi yang masih berada di Timor Timur di bawah bendera PBB. Hal yang penting juga, Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta, berbicara dari Madrid, menyerukan kepada PBB untuk memperlambat langkah pengurangan pasukan PBB.