Terbaru

Glosarium

Tanya-Jawab

Editorial

Kabar Buruh

Video

Opini & Analisa

Buruh Migran

Kasus

Perempuan

Kabar Rakyat

HAM & Demokrasi

Perusahaan & Lowongan Kerja

SAFENET Desak Pasal Anti Demokrasi UU ITE Dicabut

Posted on Jumat, 19 Agustus 2016 Tidak ada komentar
Jakarta - Sejak UU Internet Transaksi Elektronik (ITE ) dilegalkan, banyak aktivis yang dilaporkan ke polisi dengan dalih pencemaran nama baik. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) menilai, pasal-pasal UU ITE hanyalah untuk membungkam demokrasi.

Kampanye hapus pasal 27 UU ITE. Foto: SAFENET.
Dalam setahun terakhir SAFENET mencatat, ada 11 orang aktivis dilaporkan ke polisi karena dituding melanggar pasal-pasal pidana di dalam UU ITE. Padahal yang mereka sampaikan adalah bagian dari ekspresi untuk memperjuangkan kebenaran yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Apalagi, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi ICCPR  (International Covenant On Civil Political Rights) dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil. Salah satu jaminan yang diberikan oleh konvensi tersebut adalah hak mengemukakan pendapat tanpa intervensi sesuai dengan pasal 19 ICCPR.

"SAFENET mendesak pemerintah dan Komisi 1 DPR RI agar mencabut pasal-pasal UU ITE yang kerap dipelintir untuk membungkam demokrasi seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE," demikian pernyataan Damar Juniarto sebagai juru bicara SAFENET, Selasa (16/8/2016).

Kepolisian dan Kejaksaan juga diminta untuk menolak pelaporan terhadap aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE tersebut dan mendorong penyelesaian lewat mediasi sebagai alternatif pemidanaan. Selama ini, pemelintiran terhadap pasal-pasal UU ITE kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri dengan mengesampingkan keadilan dan kebenaran.

Damar juga mengatakan pihaknya telah melaporkan masalah ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menggalang solidaritas se Asia Tenggara untuk mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang semakin dijerat oleh pasal-pasal di dalam UU ITE.
Selengkapnya → SAFENET Desak Pasal Anti Demokrasi UU ITE Dicabut

PT Maglev Dinilai Berangus Serikat Pekerja

Posted on Tidak ada komentar
Karawang - PT Maglev Metal Industrindo yang beralamat di Jl Raya Klari Nomor 18 Dusun Sukamakmur RT 013/004 Desa Anggadita Kecamatan Klari Kabupaten Karawang diduga melakukan upaya union busting atau pemberangusan serikat pekerja terhadap Serikat Pekerja Maglev Metal Industrindo (SPMMI). Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi baja ringan dan rolling door ini dinilai melakukan intimidasi terhadap buruh yang berserikat.

Foto ilustrasi:
"Stop Union Busting" | Rochelle Hartman | Flickr 
SPMMI adalah serikat baru di PT Maglev yang baru melakukan pencatatan serikat pada 23 Juli 2016 lalu di Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Karawang. SPMMI berafiliasi dengan Federasi Serikat Pekerja Karawang (FSPEK KASBI).

Namun setelah dilakukan verifikasi pada 11 Agustus 2016 oleh Disnaker Karawang, perusahaan langsung mengintimidasi pengurus maupun anggota serikat SPMMI. Salah seorang diantaranya adalah Naufal selaku ketua SPMMI, Ia diusir dari lingkungan perusahaan dan tidak ada kejelasan status kerja sampai hari ini. Sedangkan anggota serikat lainnya dipanggil dan dipertanyakan alasannya mendirikan serikat.

Padahal UU No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja Pasal 28 dengan gamblang menjelaskan:

“Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota, dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh,”

SPMMI didirikan karena buruh merasa tidak puas dengan kondisi kerja di PT Maglev. Buruh berinisiatif merubah buruknya kondisi kerja tersebut dengan menjadikan serikat pekerja sebagai alat untuk berjuang.

PT Maglev mempekerjakan 140 buruh tanpa kejelasan status selama 3 tahun. Tidak melakukan penanggulangan kecelakaan kerja, tidak ada safety first (K3), tidak ada juga jaminan kesehatan untuk pekerja, buruh hanya dibekali uang saku sekitar Rp50.000 perhari. Padahal pekerjaan yang dilakukan buruh penuh resiko cidera atau injury bahkan bisa menimbulkan kecelakaan kerja fatal.

“Masih banyak lagi penyimpangan di perusahaan ini, sebut saja status kerja harian lepas lebih dari 3 tahun dan masih banyak pelanggaran ketenagakerjaan lainnya,” tutur salah seorang buruh yang namanya enggan disebutkan

Sampai hari ini belum ada titik temu bagi pihak buruh dan pihak PT Maglev.

“Langkah-langkah advokasi tetap berlangsung. Ini adalah sebuah wujud buruknya pengawasan Ketenagakerjaan di tingkat daerah dan kabupaten dalam menyelesaikan perselisihan hubungan indutrial,” tutur pihak buruh.
Selengkapnya → PT Maglev Dinilai Berangus Serikat Pekerja

8 Jam Kerja Lahir dari Demo Buruh

Posted on Tidak ada komentar
Solidaritas.net - Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.

Spanduk tuntutan 8 jam kerja di Melbourne, 1856.
Foto: Wikipedia.org.
Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem, yaitu 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1  minggu dan 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.

Kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur. Jam kerja maksimal termasuk lembur diatur 48 jam per minggu.

Hampir di seluruh perusahaan menetapkan peraturan tersebut, namun banyak yang belum mengetahui sejarah panjang penetapan peraturan 8 jam kerja. Perjuangan menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari ini diawali oleh kaum buruh seperti yang dijelaskan di video berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=DJRhRuu41w4.

Setelah revolusi industri terjadi, perusahaan menginginkan jumlah produksi terus meningkat sehingga buruh dipaksa bekerja 10 sampai 16 jam perhari. Situasi itu mendorong para buruh untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut 8 jam kerja perhari, 8 jam untuk istirahat dan 8 jam untuk rekreasi.

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, puluhan ribu buruh di kota Chicago, Amerika Serikat, menggelar demonstrasi yang dalam waktu beberapa hari berubah menjadi pemogokan umum hingga membuat puluhan ribu pabrik terpaksa tutup.

Pada tanggal 4 Mei 1886, pemerintah merespon dengan membubarkan paksa aksi kaum buruh dengan menembaki para buruh hingga menimbulkan banyak korban buruh yang tewas tertembak. Insiden ini terjadi di Haymarket, Chicago, yang kemudian menimbulkan reaksi protes keras dari kaum buruh di negara-negara lain.

Pada tahun 4 Juli 1989, dalam pertemuan kaum buruh dari seluruh penjuru dunia di Paris, Kongres Internasionale Kedua mengeluarkan resolusi yang berbunyi :

“Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.”

Sejak saat itu, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia atau May Day. Meskipun begitu, setelah insiden tersebut, perusahaan mobil Ford mulai menerapkan 8 jam kerja perhari.

Perusahaan lain baru menerapkan peraturan ini setelah mengetahui Ford meraup keuntungan besar. Penerapan sistem 8 jam kerja perhari ternyata berdampak positif bagi Ford, pekerjanya merasa lebih fleksibel dan produktif, sehingga perusahaan memperoleh banyak keuntungan.

Tidak semua negeri menjalankan sistem 8 jam kerja perhari. Di Jepang, banyak perusahaan yang menerapkan budaya jam kerja lebih dari 8 jam perhari. Akibatnya, pekerja di Jepang merasa strees,  tidak produktif  bahkan tidak sempat memiliki keturunan karena sibuk bekerja. Pada tahun 2015, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri budaya jam kerja panjang.
Selengkapnya → 8 Jam Kerja Lahir dari Demo Buruh

Suara Aktivis Dibungkam dengan UU ITE

Posted on Tidak ada komentar
Jakarta - Dalam setahun terakhir, SAFENET mencatat 11  aktivis dilaporkan ke polisi karena dituduh melanggar pasal-pasal pidana di dalam UU ITE. Dua kasus terbaru adalah dilaporkannya Koordinator ForBALI I Wayan Gendo Suardana dan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekrasan (KontraS), Haris Azhar.

UU ITE Mengancam Kita (Foto: ciptamedia.org)
Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Bali telah melaporkan Gendo kepada polisi dengan laporan Nomor TBL/584/VIII/2016/Bareskrim, Senin(15/8/2016).

Pospera menuduh Gendo telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.

Laporan tersebut menyusul cuitan Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi: “Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet.”

Menurut SAFENET, cuitan tersebut harus dilihat dari konteks lebih luas dan tidak berdiri sendiri. Pada saat itu, Gendo dalam kapasitasnya sebagai ketua ForBALI sedang mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membiarkan izin lokasi terhadap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).

Namun, kritik dengan tanda pagar #KecewaAmaSusi itu kemudian dijawab dengan akun-akun bot yang menggunakan tagar #BravoSusi. Oleh karena itu, Gendo lalu mengekspresikan kekesalannya, padahal ekspresi kekesalan tidak bisa dipidanakan.

“Upaya hukum Pospera terhadap Gendo merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali,” tulis Damar Juniarto dan Anton Muhajir dalam pernyataan sikap mewakili SAFENET.

Sama halnya dengan pelaporan Polri, BNN, TNI dan Johnly Nahampun terhadap Koordinator KontraS Haris Azhar pada 2 dan 4 Agustus 2016. Pelaporan tersebut dinilai sebagai upaya pembungkaman suara aktivis yang memersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara.

“Pasal 27 ayat 3 UU ITE dipakai untuk menjerat kesaksian Haris Azhar yang berdasar pengakuan terpidana mati Freddy Budiman. Upaya pemidanaan atas kesaksian tersebut jelas menghambat demokrasi,” tegas Damar Juniarto dan Anton Muhajir.
Selengkapnya → Suara Aktivis Dibungkam dengan UU ITE

Latar Belakang Kuatnya Otoritarianisme di Indonesia

Posted on Tidak ada komentar
Jakarta - Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA Demokrasi) dan Solidaritas.net menggelar kegiatan nongkrong demokrasi. Kegiatan ini sudah digelar sebanyak tiga kali sejak akhir Juli dan bulan Agustus 2016.

Wahyudi Jafar. Foto: Solidaritas.net.
Pada minggu ketiga, Sabtu (13/8/2016) Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menjelaskan tentang reformasi militer dan penuntasan agenda transisional demokrasi di Indonesia. Menurutnya, kekuatan otoritarianisme di Indonesia dilatarbelakangi oleh konstitusi yang memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada eksekutif dan adanya dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Konstitusi sebelum amandemen memberikan kekuasaan yang sangat luas bagi eksekutif, termasuk di dalamnya penggunaan kekuatan militer dan polisi. Dalam konstitusi tersebut pada pasal 10 dijelaskan bahwa presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berhak atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. tidak ada yang menjelaskan mengenai penggunaan kekuatan polisi. Pada pasal 30 mengenai bela negara tidak dijelaskan mengenai batasan wewenang militer.

“Hanya ada penjelasan, bahwa pembelaan negara menjadi hak seluruh warga Indonesia,” jelas Wahyudi

Hukum pada saat itu bukan ditempatkan sebagai batasan dan kontrol kekuasaan militer, akan tetapi sekadar menjadi instrumen yang melegalkan keseluruhan aksi mereka.

Besarnya kewenangan yang diberikan kepada institusi militer, yaitu ABRI dan termasuk polisi di dalamnya, tanpa pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang memadai. Sehingga menjadikan institusi ini kerap melakukan tindakan berlebihan atas nama keamanan negara.

Hal ini didukung oleh penerapan konsep Dwifungsi ABRI sebagai pembelokan doktrin militer jalan tengah yang dicetuskan Nasution pasca kudeta Oktober 1957 dimana pada saat itu tentara meminta ruang untuk stabilisasi politik dan ekonomi . Kekuasaan militer mengakibatkan terjadi berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Selengkapnya → Latar Belakang Kuatnya Otoritarianisme di Indonesia

Berapa Upah Lembur Hari Raya?

Posted on Senin, 15 Agustus 2016 Tidak ada komentar
Solidaritas.net – Setiap hari raya keagamaan sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur. Pada tanggal-tanggal hari raya keagamaan tersebut telah ditandai dengan tanggal merah, yang menandakannya sebagai hari libur.

Gambar ilustrasi.
Namun karena tuntutan pengusaha, tidak sedikit para pekerja, termasuk kaum buruh yang tetap bekerja pada saat liburan hari raya keagamaan tersebut. Apalagi, para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang beroperasi selama 24 jam, yang mewajibkan harus selalu ada tenaga yang mengoperasikan mesin. Bekerja pada hari libur resmi seperti ini dianggap sebagai lembur.

Mengenai hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 85 ayat (2).

“Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.”

Namun, dalam kondisi seperti ini, pengusaha wajib membayar upah lembur, seperti diatur dalam Pasal 85 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (2) pada peraturan yang sama. Besaran upah kerja lembur pada saat hari raya keagamaan yang harus dibayarkan oleh para pengusaha yang mempekerjakannya, telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102/VI/2004 Pasal 11 huruf b dan huruf c. Peraturan itu sendiri membagi cara penghitungan upah kerja lembur pada hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti libur hari raya keagamaan, menjadi dua bagian, yakni sebagai berikut:

1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka:

a. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam;

b. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.

2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Namun, mengenai kerja lembur pada hari libur resmi, termasuk libur hari raya keagamaan ini sendiri, para pengusaha harus mendapatkan persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Hal ini diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 78 ayat (1), yang juga menyebut bahwa “Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.”

Terhadap peraturan ini, ada salah satu kasus pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen perusahaan Total Buah Segar pada tahun 2009 silam, di mana mereka menerapkan aturan bagi buruh yang menolak untuk bekerja saat hari raya Lebaran, akan dilakukan pemotongan upah. Kebijakan ini dinilai telah melanggar UU Ketenagakerjaan. Dalam hal pemaksaan untuk kerja lembur seperti ini, para buruh pun bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Selengkapnya → Berapa Upah Lembur Hari Raya?

Perdagangan Orang Berkedok Magang

Posted on Tidak ada komentar
Cikarang - Dua puluhan perempuan berkumpul di malam itu, bercerita tentang nasib mereka sebagai buruh "magang" ‎di sebuah pabrik otomotif. Mereka baru saja lulus dari sekolah menengah kejuruan, diangkut dari Jawa Tengah dan disalurkan ke pabrik oleh yayasan penyalur.

"Untuk tiga bulan saja di pabrik ini, katanya. Kami dijanjikan akan dikuliahkan," ucap RH, sebut saja namanya begitu. RH tak pernah menyangka‎ magang yang katanya untuk latihan kerja sambil kuliah itu adalah kerja selama 8 jam di pabrik dan seringkali diwajibkan lembur.

Ia dan rekan-rekannya dibayar hanya Rp2,1 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum kabupaten (UMK) Bekasi Rp3,2 juta. Upah lembur hanya Rp10 ribu per jam untuk membayar tenaga mereka yang sudah kelelahan setelah 8 jam bekerja.

Upah mereka dipotong Rp400 ribu sebulan untuk biaya transportasi (jemputan) kerja. Mereka juga diharuskan tinggal di kamar kontrakan yang ditunjukan oleh penyalur. Setiap kamar dihuni lima orang di mana setiap orang harus membayar Rp200 ribu lagi sebagai uang sewa. ‎Jadilah mereka hanya mengantongi Rp1,5 juta per bulan. Ia sangat khawatir karena ijazahnya ditahan oleh yayasan penyalur sebagai jaminan pembayaran cicilan uang kuliah.

"Kami yang mau kuliah harus bayar Rp3 juta sebagai pendaftaran. Biaya SPP Rp600 per bulan. Kampus itu milik yayasan," katanya.

Ada oknum guru yang terlibat dalam perekrutan tersebut. ‎Hal ini juga yang membuat mereka dan orang tua percaya anaknya akan berhasil dengan mengikuti "pemagangan" itu. Biaya penempatan sebesar Rp2 juta pun dibayarkan oleh orang tua mereka kepada yayasan penyalur. Masalah lain datang, mereka tidak nyaman dengan pelecehan verbal yang dilakukan oleh supir antar-jemput mereka.

"Gimana, ya? Saya takut. Kadang-kadang sendirian di mobil.‎ Supirnya seperti mau yang lain," tutur RH.

Setelah tiga bulan, mereka akan ditempatkan di perusahaan lain dengan status yang sama seperti sebelumnya, sebagai buruh magang. Dalam penutup kisahnya, ia mengungkapkan ada banyak lagi buruh "magang" seperti dirinya yang disalurkan ke perusahaan-perusahaan lain, termasuk perusahaan yang memproduksi merek-merek ternama.

Dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan pengertian perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Tindak pidana perdagangan orang diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Selengkapnya → Perdagangan Orang Berkedok Magang
Jangan lewatkan