Video Debat sengit antara Kyai muda jatim yang merupakan ulama asal NU dengan penganut jaringan islam liberal atau di singkat
JIL yand di komandoi olehUlil Abshar Abdalla dapat berlangsung dengan tertib, meskipun ada sedikit insiden, akan tetapi semua itu tidaklah berarti. Ulil Abshar sebagai salah satu dedengkot dari JIL memberikan penjelasan secara panjang lebar mengenai islam yang di yakininya berdasarkan tasfir yang di pahaminya. Sementara kiai muda NU jatim juga demikian. Mereka saling memberikan dalil dan pendapat yang di yakininya masing - masing.
Tapi pada Akhirnya debat antara NU vs JIL ini dapat berlangsung dengan tertib lancar dan aman, tanpa ada suatu halangan yang berarti. Sehingga kita semua dapat mengambil pelajaran dari isi debat antara
Kiyai Muda Jatim NU vs
Jaringan Islam Liberal JIL.
Kesimpulan
Forum Tabayyun dan
Dialog Terbuka
Antara Jaringan Islam Liberal dan Forum Kiai Muda (
FKM) NU
Jawa Timur
Di PP
Bumi Sholawat, Tulangan,
Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009
Dewasa ini sedang berlangsung perang terbuka dalam pemikiran (ghazwul fikri) pada tataran global. Melalui sejumlah kampanye dan agitasi pemikiran, seperti perang melawan terorisme dan promosi ide-ide liberalisme politik dan ekonomi neo-liberal,
Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia berupaya menjinakkan ancaman kelompok-kelompok radikal, memanas-manasi pertikaian di antara kelompok radikal dan moderat dalam tubuh umat
Islam, serta menyeret umat Islam dan bangsa ini ikut menjadi proyek liberal mereka.
Dengan memperhatikan perkembangan global tersebut, dan terdorong oleh kepentingan membela tradisi Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh warga NU sebagai bagian dari identitas dan jati diri bangsa ini, Forum Kiai Muda Jawa Timur memberikan kesimpulan tentang hasil-hasil dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai berikut:
1. Sdr.
Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.
2. Pada dasarnya pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.
3. Liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah.
Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.
4. Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman
Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.
5. Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum
Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat
Pancasila dan NKRI.
6. Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (
HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.
7. JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis
Barat dan murid-muridnya, seperti
Huston Smith,
John Shelby Spong,
Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.
8. Menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan, tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.
- published: 13 Mar 2015
- views: 258100