Selama beberapa dekade pasca berdiri Daulah Abbasiyah pada tahun 132H/750M, berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Abū
Ja`far ibn `Abdullāh ibn
Muhamad Al-Mansūr (137-158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya.Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua, meninggalkan Al-Anbār dan membangun
Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Berbicara mengenai gerakan penerjemahan yang terjadi di Era Abbasiyah sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya penerjemahan yang pernah dilakukan pada masa Dinasti
Bani Umayyah. Saat itu, usai penaklukan besar-besaran yang merambah wilayah-wilayah di tiga benua, serta pada saat keamanan politik dalam negeri relatif stabil, sebuah upaya penerjemahan telah dilakukan meski dalam skala kecil.
Sebagaimana diceritakan oleh para sejarahwan,
Khālid ibn Yazīd ibn
Mu'awiyah pernah memerintahkan dihadirkannya sejumlah filosof
Yunani yang bermukim di Mesir dan menguasai bahasa
Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Mesir Kuno (
Qibti), khususnya yang terkait dengan ilmu medis dan kimia, ke dalam bahasa Arab.[xvii] Selain itu, pada masa `
Abdul Mālik ibn Marwān dan Al-Walīd ibn `
Abdul Malik itu juga telah dilakukan penerjemahan dīwān dari bahasa aslinya, baik bahasa Pahlavi-Persia, Yunani maupun Mesir Kuno ke dalam bahasa Arab.
Satu hal yang menarik untuk dicatat bahwa mayoritas para penerjemah buku-buku kuno ke dalam bahasa Arab tersebut berasal dari warga non muslim (ahl al-dzimmah) seperti Yohana ibn Māsawayh,
Hunayn ibn Ishāq, Ishāq ibn Hunayn, Hubaysh ibn al-A`sam, Tsābit ibn Qarrah al-Sābi'i, Yahya ibn al-Bitrīq, Iqlīdis ibn Nā`imah, Zarūbā ibn Mājwah al-Himsi, Āwī ibn Ayyub, Qustā ibn Lūqā, Astufun ibn Bāsīl, Salībā Ayyūb al-Rahāwi, Dārī` al-Rāhib dan lain-lain masih banyak lagi.
Selain gerakan penerjemahan, kemajuan ilmu dan peradaban Era Abbasiyah juga ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, ilmu sosial dan sains. Di bidang ilmu-ilmu agama, Era Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadits dan Fiqh. Khususnya sejak tahun
143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuknya yang sisitematis baik di bidang ilmu Tafsir, Hadits maupun Fiqh.
Diantara ulama tersebut yang terkenal adalah adalah
Ibn Jurayj (w.
150 H) yang menulis kumpulan haditsnya di
Mekah,
Mālik ibn Anas (w. 171) yang menulis Al-Muwatta' nya di
Madinah, Al-Awza`i di wilayah
Syam, Ibn Abi `Urūbah dan Hammād ibn Salāmah di
Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyān al-Tsauri di Kufah, Muhamad
Ibn Ishāq (w. 151H) yang menulis buku sejarah (Al-Maghāzi), Al-Layts ibn
Sa'ad (w. 175H) serta Abū Hanīfah.
Kemajuan yang dicapai oleh umat
Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi.
Pada era
Hārūn al-Rashīd dan Al-Ma'mūn sejumlah teori-teori astronomi kuno dari Yunani direvisi dan dikembangkan lebih lanjut. Tokoh astronom muslim yang terkenal pada era Abbasiyah antara lain Al-Khawārizmi, Ibn Jābir Al-Battāni (w. 929), Abu Rayhān al-Biruni (w.1048) serta Nāsir al-Dīn al-Tūsi (w.1274). [9]
Sedangkan Ilmu fisika telah dikembangkan oleh Ibn Al-Haytsam[xliii] atau yang dikenal di
Barat dengan sebutan
Alhazen. Beliau pula yang memegembangkan teori-teori awal metodologi sains ilmiyah melalui eksperimen (ujicoba). Untuk itu beliau diberi gelar sebagai the real founder of physics. Ibn al-Haytsam juga dikenal sebagai bapak ilmu optic, serta penemu teori tentang fenomena pelangi dan gerhana.
Di bidang ilmu kimia era Abbasiyah mengenal nama-nama semisal
Jābir ibn Hayyān (atau Geber di Barat) yang menjadi pioner ilmu kimia modern. Selain itu ada
Abu Bakr Zakariya al-Rāzi yang pertama kali mampu menjelaskan pembuatan asam garam (sulphuric acid) dan alkohol.
Dari para pakar kimia muslim inilah sejumlah ilmuwan Barat seperti
Roger Bacon yang memperkenalkan metode empiris ke Eropa dan
Isaac Newton banyak belajar.
Dalam bidang kedokteran muncul tokoh-tokoh seperti al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi,
Ibn Sina dan lain-lain. Disebutkan pula, sebagai bukti lain yang menggambarkan kemajuan ilmu kedokteran era Abbasiyah, bahwa pada zaman
Khalifah Al-Muqtadir Billah (907-932M/295-390H) terdapat sekitar 860 orang yang berprofesi debagai dokter.
- published: 31 Mar 2011
- views: 44065