Dokumentasi Video dari Acara Screening & Diskusi Performance 2.0 - Relevansi Performance Art Di Konteks Sosial & Seni Kontemporer Hari Ini Menampilkan Arsip Video Dokumentasi Performance Art Karya: Arahmaiani, Iwan Wijono, Venzha Christiawan, Sindu Cutter, Orsay Eugene, Pungkaz Singarazka Dengan pembahasan oleh: 1. Iwan Wijono: performance art sebagai gerakan politik. 2. Arahmaiani: performance art dan pemberdayaan komunitas. 3. Venzha Christiawan: multimedia performance dan teknologi. Tempat: Rumah IVAA, Jl. Ireda Gang Hiperkes 188A/B, Dipowinatan, Yogyakarta. Hari/Tanggal: Kamis, 8 Mei 2014, pukul 18.30 WIB -- selesai Saling berbagi kembali mengenai perkembangan Performance Art (PA), sebuah disiplin seni rupa yang sempat sangat marak di dunia seni Indonesia terutama tahun 1990-an dan awal 200-an. PA sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk seni yang dekat akarnya dengan masyarakat negeri ini. Masyarakat Jogja pada khususnya ataupun Indonesia pada umumnya, sangat performatif, sangat body minded, sangat ritualis, sejak berabad-abad memang penuh acara ritual di dalam kehidupan keseharian, dari kelahiran hingga kematian. Akar body performative sangat tinggi di Indonesia, menjadi mudah memahami dan praktek seni semacam ini, hanya diperlukan pengembangan wacana dan wawasan agar mudah menampilkan sebuah aksi PA dengan memunculkan konteks yang pas. Perkembangan PA sejauh ini di Indonesia berjalan secara organik dan cair, hampir tanpa pakem. Praktek PA lebih kepada menampilan-memunculkan konteks baru di mana saja tampilnya, sesuai konteks sosial & ruangnya. Tahun 1990-an sempat menjadi trend dalam demonstrasi yang disebut sebagai PA atau Happening Art, walau pun yg ditampilkan adalah teater atau aksi teatrikal dengan tradisi panggung. Bagaimanapun PA sudah dianggap memberikan sumbangsih besar terhadap gerakan 90-an waktu itu hingga lengser-nya Soeharto. Performance kemudian sering hanya dijadikan jalur untuk mudah masuk ke pintu jaringan seni internasional, namun banyak performer akhirnya kembali ke seni konvensional, bukan lagi seniman kontemporer yang menggunakan bermacam media sesuai kebutuhan. Sementara PA justeru seolah-olah sudah diteruskan/diambil alih oleh masyarakat non-seni, seperti demo mahasiswa, demo buruh, demo ibu-ibu dan sebagainya. Sepertinya mereka meniru/meneruskan praktek performance art dalam demo 1990-an. Konklusi, perlu konsolidasi, pembentukan team dan komunitas, meneruskan wacana yang ada, meneruskan dan mengembangkan program yang pernah ada, meneruskan penerbitan, dan membuka pasar baru hal-hal yang mendukung media ini seperti fotografi dan video. Selebihnya, PA adalah bagian dari gerakan politik, bagian dari pemberdayaan komunitas, bagian dari identitas tubuh, bagian dari pertunjukan multimedia, dan sebagainya. Segala aspek tersebut menjadi pembahasan diiringi dengan screening arsip video di acara ini, dan mencari input dari generasi baru mengenai performance art di era sekarang, relevansinya dan potensinya ke depan.

• published: 19 May 2014
• views: 0