WSWS : Bahasa Indonesia
Indonesia mengumumkan sebuah ultimatum "independen"
untuk Timor Timur
Oleh Mike Head
3 Februari 1999
Di bawah desakan ekonomi dan politik dari negara-negara besar
Barat untuk mencapai sebuah persetujuan dengan pemerintah Timor
Timur (Timtim), rejim Habibie di Indonesia minggu lalu, telah
mengumumkan sebuah perubahan politik yang mendadak atas
pendudukannya selama 23 tahun atas bekas koloni Portugis
itu. Setelah sebuah sidang kabinet yang membicarakan hal-hal politik
dan keamanan, kedua tokoh menteri yang telah lama diasosiasikan
dengan penggabungan Timor Timur kemudian mengadakan konperensi
media di Istana Negara Jakarta untuk mengumumkan kemungkinan bagi
Indonesia untuk menarik diri secara mendadak dari daerah itu.
Menteri Penerangan Jendral Yosfiah Yunus dan Menteri Luar Negeri
Ali Alatas menyatakan bahwa Indonesia akan menawarkan
bagian timur dari Timor itu sebuah paket "otonomi
khusus", untuk pengakuan internasional kedaulatan
Indonesia atas daerah tersebut. Jika hal itu ditolak, maka Indonesia
akan segera mundur.
Kedua menteri tersebut tidak memberikan rincian paket
otonomi itu, atau siapa yang akan menentukan penerimaannya. Alatas
hanya menekankan bahwa kalau sampai paket itu gagal, maka pemerintah
akan menganjurkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-yang
akan dipilih pada bulan Juni-agar Timor Timur "dilepaskan
dari Indonesia". Ia dengan tegas mengesampingkan posisi para
pemimpin Timor Timur-sepuluh tahun atau lebih
dari otonomi terbatas yang diikuti oleh referendum dengan tiga
pilihan: kemerdekaan, tetap dibawah pemerintahan Indonesia, atau
kembali ke Portugal.
"Setelah 22 tahun, mereka masih tidak mengerti bahwa Indonesia
datang ke sana tidak untuk mengambil tetapi untuk memberi",
kata Alatas. "Kami hanya datang untuk membantu, tetapi jika
mereka masih tidak dapat mengerti hal itu, marilah kita
tidak main-main untuk lima atau sepuluh
tahun lagi. Kami akan menarik diri sekarang." Alatas kemudian
dikutip menyatakan: "Kenapakah kami harus memberikan semua
kebebasan yang mereka inginkan di bawah otonomi yang kami biayai
selama lima atau sepuluh tahun, yang pada akhirnya,
mereka akan berbalik dan berkata 'Selamat tinggal'?"
Jakarta secara serentak mengumumkan bahwa mantan pemimpin resistensi
Xanana Gusmao-dihukum penjara untuk 20 tahun di tahun 1992-akan
dirubah menjadi tahanan rumah. Gusmao adalah presiden
dari pemerintah Timtim di perasingan, National Council
of Timorese Resistance CNRT (Dewan National Perlawanan Bangsa
Timor).
Di ibukota Timor Timur, Dili, banyak orang diberitakan menyelenggarakan
dan berpelukan di jalan-jalan ketika mendengar pengumuman yang
ditelevisikan itu. Kedua pemenang 1996 Nobel Perdamaian-Biskop
Belo dari Gereja Roman Katholik dan Jose Ramos Horta, wakil presiden
CNRT juga menyambut perubahan politik dari Jakarta tersebut meskipun
dengan sedikit kegentaran.
Di bawah samaran untuk menawarkan pemisahan, rejim Indonesia
mencoba untuk berpegang pada provinsi itu dengan menggunakan
kemungkinan pengunduran diri personel Indonesia dan keuangannya
secara cepat dan yang dapat
menyebabkan ketidakstabilan. Pada hakekatnya, rejim itu berusaha
untuk menggertak negara-negara besar Barat dan
pemimpin Timor Timur yang telah menentang kedaulatan
Indonesia. Pesan Alatas yang berselubung tipis
itu berisi: Jika Indonesia didesak untuk mengakhiri pendudukannya,
maka Jakarta akan segera meninggalkan daerah
itu dan meletakkannya di tangan gerombolan-gerombolan
bersenjata pendukung Indonesia.
Ancaman ini didukung oleh sekitar 7.000 orang pendukung Indonesia
yang memiliki senjata-senjata otomatis, yang bergabung dalam sebuah
kelompok paramiliter bernama Ratih.
Pemimpin-pemimpin ABRI, yang dikepalai oleh Menteri
Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto, juga sudah mengijinkan
peningkatan kegiatan regu-regu pembunuh militer. Sejak
bulan November lalu, anggota-anggota kelompok militer
dan paramiliter itu telah membunuh lebih dari 100 orang.
Hanya dua minggu lalu, dengan pembaruan kampanye teror ini
sekitar 4.000 korban telah melarikan diri ke Dili dari kota-kota
kecil dan desa-desa seperti
Alas, Turiscai, Maliana, Liquica dan Maubara. Minggu ini, 6.000
orang telah berlindung dekat sebuah gereja di bagian selatan kota
Suai. Dua hari sesudah pernyataan Alatas, tukang-tukang pukul
yang dipersenjatai oleh Indonesia menembakkan
senjata-senjata mereka ke udara untuk
membubarkan demonstrasi kemerdekaan di Dili.
Kaum militer telah menggunakan cara yang hampir sama pada tahun
1974-75 untuk membenarkan dan melaksanakan penyerbuan pertamanya.
Unsur-unsur bersenjata junta Suharto yang menentang rencana-rencana
Fretilin, sebuah gerakan separatis, untuk menyatakan kemerdekaan
pada saat pemerintah Portugis mundur secara mendadak setelah jatuhnya
diktatur Caetano di Lisbon pada bulan April 1974.
Kekuatan pendukung Indonesia ini, yang diperkuat dengan
tentara Indonesia dalam samaran, membangkitkan pertempuran yang
memberikan dalih bagi Jakarta untuk bercampur-tangan dengan alasan
memberhentikan sebuah 'perang saudara'.
Washington dan Canberra telah memberikan lampu hijau kepada
invasi bulan Desember 1975 tersebut, untuk mencegah
sebuah situasi yang dapat menjadi tidak stabil mengikuti
keberangkatan Portugis yang mendadak.itu. Keduanya
menganggap rejim Suharto sebagai benteng stabilisasi di daerah
itu. Tetapi, sikap Amerika Serikat telah berubah sama sekali semenjak
itu. Dari mengorkestrasi kudeta militer Suharto di tahun 1965,
Washington kemudian menganggap nepotisme dan cronisme rejim ini
sebagai sebuah penghalang bagi eksploitasi global
kekayaan dan tenaga kerja murah di kepulauan Indonesia.
Mencerminkan perubahan tersebut, 22 bulan
lalu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang selama ini tetap
mengakui Portugal sebagai pemerintah yang sah atas Timor
Timur, mengangkat seorang wakil, Jamsheed Marker, untuk mengadakan
sebuah kesepakatan antara Indonesia dan Portugal. Marker
telah menetapkan akhir minggu ini sebagai batas
waktu, untuk menyelesaikan rencana-rencana untuk sebuah "otonomi
luas" yang pada akhirnya akan diadakan semacam pemilu
bagi orang-orang Timor Timur.
Portugal, didukung oleh Perserikatan Eropa (European Union),
dalam tahun-tahun terakhir ini telah memperbarui tuntutannya atas
Timor Timur. Lebih-lebih, ketika Portugal pergi ke Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) untuk mempertanyakan kesahan
dari perjanjian perminyakan Timor Gap (Timor
Gap oil treaty) yang ditandatangani pada tahun 1989 antara Indonesia
dan Australia, membagi-bagi ladang-ladang minyak
dan gas alam yang merentang di bawah laut antara
Timor dan bagian barat-laut Australia.
Agar dapat menarik pimpinan CNRT ke dalam rencana-rencana
PBB, Marker telah mengadakan sejumlah pertemuan dengan
Gusmao di Penjara Cipinang Jakarta. Banyak pula orang lain yang
telah melakukan hal yang sama, terutama, Stanley Roth, Asisten
Menteri Amerika Serikat untuk masalah-masalah Asia Timur dan Pasifik.
Roth sudah mengunjungi pemimpin yang dipenjarakan itu lima kali
selama tahun lalu. Gusmao juga sudah bertemu dengan paling
sedikit tiga anggota kongres Amerika Serikat,
dan dengan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.
Ia telah berunding beberapa kali dengan duta besar Australia
di Jakarta dan mengadakan pembicaraan dengan seorang direktur
senior BHP, perusahaan Australia yang mengepalai persekutuan penggalian
minyak dan gas alam di laut Timor.
Bereaksi terhadap persekutuan Eropa dan Amerika, bulan lalu
pemerintah Howard di Australia menunjukkan perubahan
sikapnya. Menteri Luar Negeri Alexander Downer mengumumkan bahwa
Perdana Menteri Howard telah menulis kepada Habibie mendesak pemerintahannya
untuk memberikan Timor Timur otonomi, yang akan diikuti oleh,
mungkin 15 tahun setelah itu, dengan sebuah "aksi penentuan
nasib sendiri" yang belum didefinisikan. Selama 23 tahun
terakhir, Australia merupakan satu-satunya kekuatan Barat yang
secara sah mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Pengakuan
itu adalah sebuah syarat penandatanganan kesepakatan
Timor Gap (Timor Gap Treaty). Perubahan politik Canberra itu telah
meninggalkan rejim Indonesia terisolasi.
Alatas secara pahit menunjuk ke pergantian muka Australia
ini dalam pernyataannya minggu lalu. Menteri Keuangan Indonesia
Ginandjar Kartasasmita mengemukakan perasaan yang sama ketika
ia mengatakan kepada Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum)
di Davos, Switzerland akhir minggu lalu bahwa Timor Timur adalah
"hal yang sangat mahal tidak hanya dalam keuangan dan materi,
tetapi juga secara politis karena hal itu telah membuat Indonesia
"diganggu dan direndahkan secara moril"
dalam masyarakat internasional.
Reaksi Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor.
Dalam jangka pendek, Timor Timur merupakan beban keuangan. Terpisah
dari ongkos penempatan beberapa ribu tentara
di daerah itu, provinsi itu tergantung kepada Indonesia untuk
sebanyak 60 persen dari uang yang sekarang ini digunakan
untuk pendidikan, kesehatan dan fasilitas-fasilitas
umum lainnya. Sedangkan 30 persen lainnya datang dari penderma-penderma
negara Barat. Setelah 400 tahun dari penjajahan Portugis,
diikuti dengan 23 tahun dari pendudukan militer Indonesia, Timtim
adalah salah satu daerah yang termiskin di Asia
Tenggara, dengan tingkat penghasilannya sepertiga
lebih rendah daripada penghasilan rata-rata di seluruh Indonesia.
Dalam jangka menengah sampai panjang, Laut Timor, sebuah daerah
yang secara relatif dangkal seluas 20.000 kilometer
persegi di antara pulau itu dan Australia, memegang harapan besar
untuk minyak dan gas alam. Pada saat ini pulau tersebut menjadi
tuan rumah bagi pembangunan ladang minyak Elang-Kakatua
Australia yang berongkos 136 juta dollar Australia. Dimiliki oleh
sebuah persekutuan yang termasuk BHP, Santos, Petroz dan Inpex
milik Indonesia, daerah itu menghasilkan $12,5 juta dollar AS
setiap tahun dalam pembayaran royalti kepada pemerintah Indonesia
dan Australia.
Ladang minyak Elang-Kakatua mungkin hanya bertahan 4 tahun
lagi, tetapi pembangunan Bayu-Undan gas-konsentrat yang berharga
2,4 milyar AS telah diperkenankan untuk mengalir
pada tahun 2002. Jika hal itu terjadi, pembayaran royalti tahunan
akan meningkat menjadi sekitar $300 juta dollar AS. Di atas itu,
ladang- ladang Sunrise-Troubadour di dekat situ masih
belum dibangun. Cadangan-cadangan sumber alam ini berada di lingkungan
kesepakatan Timor Gap daerah kooperatif (Lapangan A). Dua daerah
lagi di bawah persetujuan itu masih belum dijelajahi secara menyeluruh-Lapangan
B, dikontrol hanya oleh Canberra, dan Lapangan C, dijalankan oleh
Jakarta.
Tahun lalu, cadangan gas dan minyak yang diketahui dalam lingkungan
kesepakatan itu diperkirakan sebesar $19 milyar dollar
AS, meskipun angka itu mungkin sejak itu sudah dipengaruhi
oleh turunnya harga minyak dunia.
Ada implikasi-implikasi yang lebih luas untuk golongan penguasa
Indonesia. Jika Timor Timur memisahkan diri, hal itu
dapat menyebabkan perpecahan yang sama di Irian Jaya, Ambon, Sulawesi,
Kalimantan dan Aceh. Dua tokoh oposisi, Megawati Sukarnoputri
dari Partai Demokrasi Indonesia dan Abdurrahman Wahid dari Nahdlatul
Ulama telah mengutuk pemerintah Habibie atas pembukaan soal-soal
perpecahan tersebut. "Penggabungan Timor Timur ke Indonesia
adalah secara konstitusi dan politis berdasarkan hukum,"
kata Megawati.
Tidak lebih dari golongan militer, tokoh-tokoh oposisi ini
mewakili sebagian dari modal Indonesia, yang khawatir
atas kontrol atas kepulauan yang terdiri
dari 3.000 pulau itu. Kecemasan yang besar juga sudah
diungkapkan di media Australia akan kemungkinan
"pem-Balkanisasi-an" Indonesia. Selain dari
pertimbangan strategis dan militer, beberapa nama terbesar
di bisnis Australia telah menanam modal lebih dari $10 milyar
dollar AS di Indonesia, termasuk proyek-proyek pertambangan di
pulau-pulau terpencil dalam perseroan dengan perusahaan-perusahaan
Indonesia.
Gusmao dan Horta, yang mengepalai CNRT bersama dengan mantan
Timor Timur Gubernur Mario Carrascalao, sudah bereaksi terhadap
ultimatum Indonesia tersebut dengan lebih terbuka mencari dukungan
dari Pemerintah Australia dan Selandia Baru, menjamin mereka bahwa
sebuah negara yang dijalankan oleh CNRT akan melindungi kepentingan
stategis dan bisnis mereka. "Tidak seorangpun perlu takut
terhadap Timor Timur" merupakan judul dari sebuah kolom yang
ditulis oleh Horta untuk Australian Financial Review. "Sebuah
Timor Timur yang independen akan cenderung kepada Australia dan
Selandia Baru untuk bantuan ekonomi, teknis, pendidikan, perdagangan,
penanaman modal, turisme dan juga keamanan. Penyebutan "keamanan"
menimbulkan kemungkinan untuk keberadaan militer Australia di
pulau itu. Horta menjanjikan bahwa Timor Timur
akan menjadi "salah satu dari teman karib Australia di daerah
tersebut" dan akan melindungi penanaman modal dari perusahaan-perusahaan
minyak.
Akan menjadi seperti apakah kehidupan ekonomi dan politis negara
kecil seperti Timor Timur? Horta sudah memberikan lebih banyak
indikasi dalam artikelnya. "Saya telah mengadakan diskusi
yang memberikan harapan dengan orang-orang bisnis
kaya dari Hong Kong dan Taiwan dalam bulan-bulan terakhir ini
tentang penanaman modal dan perdagangan di waktu yang mendatang,"
tulisnya. Penanaman modal yang seperti itu akan berlangsung hanya
dengan satu dasar-bahwa sebuah tingkat laba yang lebih tinggi
akan dijamin daripada yang didapatkan di Cina dan Taiwan, yang
mana rejim kekuasaan negara memaksakan upah yang rendah.
Horta menambahkan sebuah jaminan bahwa pemimpin Timor Timur
akan "menang atas unsur-unsur yang lebih
radikal". Dengan kata lain, fungsi utama dari sebuah pemerintah
CNRT adalah untuk menjaga tuntutan-tuntutan laba dari perusahaan-perusahaan
multinasional, dengan menekan semua perbedaan
pendapat yang meluas. Dengan demikian, pemerintah
semacam itu akan tergantung pada tunjangan
keuangan, politis dan dukungan militer dari Australia
dan kekuatan-kekuatan kapitalisme lainnya.
|